|
kompas.com |
Ada yang berkomentar di akun facebook
saya pada tanggal 23 Maret 2020. Begini komentarnya,” Apa ngga sesat pikir,
mana bukti hoaks corona lebih menghancurkan dari wabah corona covid.” Komentar
ini terjadi akibat postingan saya di laman yang sama, yaitu,” Hoaks
corona lebih menghancurkan daripada covid-19. Mari jadi warga kritis dan
kolaboratif.”
Dalam kasus Covid-19, semua
bangsa menanggung akibat “kutukan” Tuhan ini. Tidak itu saja, ia meninggalkan
jejak-jejak berita palsu di jagad media sosial. Seketika itu, orang percaya dan
akan melakukan apa saja demi selamat dari ancaman pandemi ini.
Sebut saja, kejadian bayi ajaib
dan telor (26/03) yang hanya semalam merubah harga telur di pasar, hoaks nasi
padang (24/03), penutupan pasar Mardika Ambon oleh Walikota (24/03), Corona ada
di Bula (23/03), masih ada lagi berita semacamnya yang beruntun memecah
kegentingan. Data mengejutkan per 12 Maret 2020 oleh m.detik.com yang
merilis ada 196 hoax virus corona ditemukan di Indonesia. Waw banget, atau
kebangetan?
Atas dasar itu, kita tidak bisa
saling menyalahi. Tapi kita juga tidak bisa mentolerir pesan-pesan sesat, yang
telah merambah hingga ke dalam kamar tidur. Sehingga, masyarakat dibuat panik
bukan karena endemiknya, melainkan katanya---katanya---dan katanya.
Era maha data yang super
semakin berselaras dengan budaya tutur lisan masyarakat. Tanpa membaca langsung
share. Tanpa periksa konten langsung percaya mati-matian. Tanpa pikir
panjang langsung ketik. Akhirnya kita mati sebelum waktunya.
Budaya Kritis yang Hilang
Cukuplah kita kehilangan harta
alam, jangan lagi kita kehilangan akal sehat. Peristiwa fatwa MUI dan keputusan
pemerintah terkait lockdown, menimbulkan cekcok di partai media sosial.
Entah siapa yang harus kita percaya? Ulama, pendeta, presiden, panglima untuk
saat ini, lisan mereka “ringan-berat” dalam berucap. Kenapa? Mereka memikirkan
rumah NKRI, sedangkan hantu-hantu kota maya hanya memikirkan bumbu dapurnya.
Sudahilah bumbu sarkasme,
hidupkan moral kata. Tentu setiap orang tidak mau mati sia-sia. Horornya korban-korban
di Cina, Italia, Iran, dan 190-an negara, telah merayapi malam-malam kita di
Indonesia. Apalagi up date terbaru per 28 Maret 2020 yang diinfokan kompas.com,
bahwa jumlah terinfeksi wabah ini di tanah air sudah 1.155 kasus. Belum lockdown
lagi kah? Dinding-dinding pada tiap lorong ikut menanyakan hal serupa tiap
hari.
Masih dalam halaman yang sama,
saya membaca judul sebuah berita berwarna biru di antara paragraf-paragraf.
Judulnya, Teori Konspirasi Virus Corona Masalah Serius, Bisa Bahayakan Nyawa.
Pada kalimat kedua dalam
paragraf pertamanya tertulis “...ada aktor kuat merencanakan sesuatu yang jahat
berkaitan dengan virus penyebab Covid-19 ini.” Nah, adanya berita ini merupakan
langkah baik dalam mengembalikan kekayaan mindset kita. Bahwa ada
kepentingan kuasa, dan penguasa yang sedang merebut trust dan hegemoni
dunia. Ini murni campur tangan manusia. Olehnya itu, derita ini akan berakhir,
manakala “teroris virus” duduk dalam satu meja. Tapi kapan?
Kembalikan Akal Sehat
Setelah tebaran aksi hoaks di
beranda facebook, saya tersenyum kembali manakala kampanye positif yang
bertema TANTANGAN DITERIMA bak hujan di gurun pasir. Tentu hal itu menjadi
tolak ukur, bahwa pikiran kita mesti jernih dalam melihat gejala-gejala alam.
Semesta telah diciptakan Allah untuk dibaca, dihayati, dan dihikmahi. Bukan
malah menjadi bahan ejek, bahkan dirusakin. Begitulah dengan pikiran kita.
“Negatif adalah kata yang paling positif saat ini.” (facebook Husen Mandati,
24/03)
Maka sekembalinya kita dari petualangan
fenomena, sudah sepantasnya kita cegah Covid-19 ini dengan merawaskan akal kita
dengan doa, ikhtiar, dan aksi. Kita munajatkan segala bentuk doa, yang kita
yakini akan berpihak pada kita. Allah berprasangka sesuai hambanya. Berpikir
positiflah dengan doa itu, Allah angkat dan jauhkan dari segala bala, termasuk
coronavirus ini.
Tidak ada emas jatuh dari
langit. Ikhtiar kita perlu wujudkan, dengan kolaboratif serta informatif,
patuhi segala himbauan pemangku kepentingan dengan baik. Cermati informasi fakta
dan fiktif dengan hati-hati. Jangan sok tau, apalagi belaga. Corona tidak punya
perasaan.
Doa dan ikhtiar tidak cukup
bila tak ada aksi nyata. Aksi nyata bukan tutup pintu selama berbulan-bulan,
atau hanya makan lauk daun. Tetapi, jadikan whatsApp, facebook, twitter,
instagram, dsj sebagai mesin informatif dan akomadatif dalam dunia pertemanan, dan berbagi. Jangan
sampai alat-alat itu menjadi penghisap nyawa selain corona. Sekali lagi bedakan
himbauan dan ancaman.
Komentar
Posting Komentar