soal 2

Sudahkah kita Berjalan pada RelNya?

Sahabat,
Sudahkah kita berjalan di atas relnya,
Atau kita telah merasa sudah berjalan sangat jauh,
Tanpa memperhatikan kebisingan mesin serta patahan-patahan besinya?
Ataukah kita selalu menutup telinga dari suara-suara sirene yang dibunyikan manakala kereta mau jalan dari stasiun?

Sahabat, sudahkah kita berjalan di relNya dalam keadaan bebas? Tanpa khawatir kita akan hilang dari daftar penumpang?
Ataukah kita merasa sudah kuat, perlu sendiri saja untuk masuk ke SurgaNya?
Ah... Boleh saja. Tapi, tahukah? Mereka yang belum bisa baca "alif", "ba", "ta", "tsa" dalam peleburan kehidupan, apakah kelak mereka tak meminta pertanggungjawabanmu? Maka, tiada lain, kecuali mengikat kembali komitmen.

Sahabat, jangan kau lepaskan anak panah dari busurmu dalam kegelapan. Nanti mata akan kalap, tenaga tertilap, jantung tertusuk tertancap. Batin menjadi tahanan dalam sel pesakitan, sebab penyesalan sudah terlanjur diakui.

Sahabat, ini hutang kita. Hutang tak ada ribanya. Ini iman kita. Bergerak atas sebuah misi dan ketaatan. Ini bonus pahala kita untuk menggugurkan dosa kecil yang menggunung. Ini tiket eksklusif kita menuju tempat yang baqa'

Sahabat,
Sudahkah kita, bertanya kepada si Raqib-Atid, tentang berapa koleksi bon dosa yang kita punya dalam melakukan transaksi di kios-kios kehidupan?
Ataukah barangkali kita telah terlena dengan banyaknya pahala ngaji, sholat, dzikir, puasa, tapi tak sadar bahwa tetangga kita sedang mati kelaparan?
Lalu, di mana sembahyang sosial?

Sahabat, atau tak pelu sedu sedan saja. Bilakah Chairul Anwar masih hidup, bilang saja, hapuskan saja klausa "aku mau hidup seribu tahun lagi." Sebab, geloraku tak lagi se- zaman denganmu. Semangatku telah mati dalam cinta kesederhaan tanpa wujud.

Sahabat, atau kau biarkan saja, langit memuntahkan azabnya, manakalah nasehat tak lagi saling sapa. Apakah hanya tak bisa mendefisikan makna "malu". Malu aku, aku kata, kata malu, lalu lupa bahwa ada yang mesti diingatkan. Sebab kita manusia hamba. Diciptakan untuk menanggung beban. Bukan pencari kuasa atau suaka. Bukan pula mencari sekutu pembenaran atas apa yang kita perbuat.

Sahabat, atau kau biarkan saja, biarkan saja, biarkan saja, akalmu mengalahkan hati sehatmu. Akalmu mendominasi batas-batas rasionalmu. Membiarkan akalmu merajai sukmamu hingga hilang masa manusiamu.

Sahabat, tidakkah kau lihat, kenapa Matahari tak mau dipandang? Kenapa langit diciptakan tak retak? Kenapa harus ada cinta dan kebenciaan? Kenapa ada kekuatan dan kelemahan? Kenapa ada kefuturan dan kebaikan? Kenapa ada rejeki dan azab? Semua itu, untuk kita resapi bahwa hidup kadang tak berpihak pada kita, hidup tak perlu mencintai berlebihan dan membenci keterlaluan.

Sahabat, mungkin kau sudah lupa bunyian Seruling yang kita tiupkan bersama di antara Organ, Piano, Saksofon dan Biola? Pilihan kita atas dawai Seruling seperti pilihan kita terhadap hakikat kebersamaan. Sesadar itu, kita telah menyepakatinya. Lalu, tetiba, Seruling itu patah atau hilang, lantas iramanya kita lupakan? Tidak. Notenya masih sama, " sol, sol, fa- me, re, do. Ini ketukan kita.

Sahabat, barangkali lidah kita sudah tertahan oleh kesibukan. Tak ada lagi petuah-petuah doa keberkahan bagi sahabatmu yang lain. Barangkali batin kita tidak lagi menyatu, menyumburkan mata air yang sama, merodai jalan subur dengan tenang dan peduli,"Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

Ambon, 12 Juli 2018. Pukul 01.19 WIT

Komentar