soal 2

Refleksi Jiwa Atas Ekspresi Pilkada Maluku

Sebelum ada multitafsir. Saya luruskan konteks wacana ini. Konteksnya tentang pilkada Maluku. Bisa ya. Agar tidak ada ide streaming berkembang dan ada pembatasan masalah.
Kita tau bersama, huru-hara pilkada Maluku kelihatan sangat dramatis. Prolognya dulu menggebu dengan ide  "kotak kosong". Hembusan kuatnya ialah Maluku Baru, Gubernur Baru.
Namun, petanya berubah seiring tak mau kalahnya incumbent dalam mengadu gagasannya. Alhasil, triple 6, kode koalisi incumbent (Golkar, PKS, Demokrat) melawan aliansi Banteng dkk. Dua kubu penguasa eksekutif (Beringin) dan legislatif (Moncong Putih) ini saling mempengaruhi opini publik.
Belum sampai disitu, mesin demokrasi Maluku terus memanas, seiring masuknya koalisi rakyat yang dimotori oleh tim independen (HEBAT) Aksi Tenggara-Seram ini mendapat sambutan hangat karena mereka berdua adalah pemain lama dan bisa menjadi kuda hitam. Epilognya, terbentuklah tiga kandidat yang berperang saat 27 Juni lalu.
Ya. Telah berlalu. Kini, kita akan mengikuti pleno KPU di bulan ini. Walau quick qoint berbagai lembaga survei telah merilis sang juara, dan ribuan selamat sudah berselencar di dunia maya, itu belum menjadi akhir "tinju pilkada". Tunggu KPU," kata kubu real qount.
Okey. Lanjut ya... Sampai disini, dengan euforia piala dunia, soal jago menjagokan, pelaku ide kadang kehilangan akal sehat dalam berdialetika.  Sampah kata dihamburkan, spam tak mampu membendung frase becek dari sudut komentar.
Apalagi, segala energi, baik moral dan material telah dikorbankan semua pihak dalam merebut suara dalam kalender kampanye.
Tentu, tenaga super dikeluarkan menjadi harga mahal yang harus dibayar atas dogma popularitas, elektabilitas dan aksetabilitas.

Kalah vs Menang

Setiap pertarungan harus ada menang dan kalah. Bila ada tambahan waktu, pastinya akan ada adu pinalti. Sama halnya bola.
Patriot dalam politik, sedia bermental lapang dada, berjiwa besar dan punya karakter merangkul.
Tetapi, sudah dua dekade reformasi berkibar, berbagai hal tersebut terlepas dari pijakan. Itu hanya teori. Praktiknya omdo. Salah satu yang mempengaruhinya ialah mindset tim dan kandidat sebelum bertanding ke gelanggang sudah terpetakan win or lose.  Sehingga merawat ide sehat dalam bertanding sudah tidak ada lagi. Yang ada ialah bagaimana menaklukan lawan. Berbagai cara dilakukan, yaitu money politik, black campingn, intimidasi, rekayasa suara dll.
Ini bisa kita saksikan secara kasatmata ketika debat kandidat 1 dan 2 di gedung Siwalima Ambon lalu.
Lanjut, setelah kekalahan Jerman, disusul Argentina, kemudian Portugal dan Spanyol, aroma "petahan kalah" menjadi kutukan baru. Tak ada yang abadi dalam kehidupan. Satu-satunya yang abadi ialah perubahan itu. Maka,  kita harus mengikutinya dengan sungguh-sungguh.
Disitulah muncul bahasa agitasi terhadap pihak kalah. Padahal, sebenarnya takdir Jerman diciduk oleh Korsel 0-2 bukanlah sebuah rekayasa. Melainkan, zaman akan berpihak kepada siapa yang unggul. Kira-kira begitu.
Jadi, soal kalah tidak usah dilebih-lebihkan. Kan ada 2022. Apalagi dijadikan sebagai alat untuk membunuh karakter orang. Hingga meme-meme tokoh yang kalah dibuat sedemikian rupa. Sampai kapan kita bisa merawat akal sehat? Membenamkan sakit hati?

Kita Semua Punya Masa Depan

Refleksi atas semua ini, Imam Imam Muhammad bin Sirin Rahimahullah berkata: "Sesungguhnya manusia paling banyak kesalahannya adalah manusia yang banyak menyebut kesalahan orang lain."
Masih bagus jika kesalahan itu memang benar-benar salah, alias kesalahan yang disepakati, tapi yang terjadi adalah kesalahan menurut satu pihak saja, yang menurut perspektif lain itu bukan kesalahan.
Ruang salah menyalahkan sebagai sudut potensi keburukan manusia memang perlu dihindari.
Kenapa? Sebab, setiap manusia punya masa depan dan itikad untuk membawa misi kedamaian, kesejahteraan dan keadilan. Sama halnya dengan para kandidat.
Saya yakin, mereka tidak ada inisiatif untuk menguburkan Maluku ke dalam dasar tanah tujuh lapis. Jika, ada biarkan langit yang mengazab mereka.
Keyakinan itulah yang menguatkan kita bahwa pilkada Maluku bukanlah play off di lapangan hijau selama 90 menit. Korsel bantai Jerman. Indonesia pernah permalukan juga Korsel. Lalu, siapa pemenang sesungguhnya? Melainkan, output dari pilkada memuat efek kemajuan Maluku ke depan. Yakni, bukan soal siapa nama. Tetapi, perannya.
Sementara ini, matahari Maluku masih belum bersinar terang jika masih ada mendung di langitnya. Laut Banda akan senantiasa biking arus kuat, bilamana anginnya belum terkendali. Binaya akan senantiasa tinggi menjulang tapi susah disaksikan karena kabut menutupi, tanah emasnya akan berkarat jika tidak dikelola oleh manusia hati.
Betapa penting saling menjaga. Berbeda pilihan itu hanya satu jam. Basudara itu selamanya. Sehingga, Maluku ke depan bisa terconnecting secara hati, cinta dan rasa. Ale rasa beta rasa. Katong samua badiri untuk Maluku yang bermartabat dan berpandangan Siwalima.

Ambon,  3 Juli 2018

Komentar