Diposting oleh
Muh. Nasir Pariusamahu
pada tanggal
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Euforia piala dunia 2018 di Rusia telah menggema. Demam sepak bola sejagat ini telah membuat para fans berlaga adu kekuatan di luar stadion. Berbekal jaringan TV atau life streaming pada Youtube, para fans menunjukan kefanatikannya. Mereka tak mau kalah, bahkan event empat tahunan ini menjadi sambung nyawa di atas meja judi.
Ihwal piala dunia telah dipanaskan sejak champion league tahun ini. Merona CR9 (Real Madrid) Messi (Barcelona) Sahal (Liverpool) telah membawa gemuruh liga benua biru itu ke dalam kantung negeri Beruang Merah.
Berbagai prediksi tentang siapa pemenang kali ini masih simpang siur. Toh, raja bola 2014 lalu, Jerman kalah telak oleh Meksiko. Hal ini melanjutkan trah rekor terkalahkan para sang juara. Sebelumnya ada La Furia Roja (Spanyol) di tahun 2014 pulang dengan malu dari tanah Afrika.
Lalu? Eah... Saya tidak ngebahas lebih dalam lagi soal hitung-hitungan skor dan keajaiban pada injury time. Sebab, semua "dukun" modern telah membagikan angka keramat buat para pendukung. Eah.
Kondisi piala dunia yang datang bak hujan, telah membuat mendung di langit. Kibaran bendera dari berbagai ras negara peserta berkibar di awan-awan khatulistiwa. Tak ada lagi pembatas. Bahkan di ujung genteng rumah pun tertancap tiang-tiangnya. Katanya untuk penangkal kekalahan sang favorit.
Kejadian ini tak semirip hari tujuh belasan. Jauh sekali bedanya. Orang-orang lebih ramai bersorak gempita dengan yel-yel timnya ketimbang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Orang-orang lebih syahdu berlarut malam-bedagang demi menanti permainan tim idolanya daripada menyaksikan siraman khutbah kebangsaan di mimbar-mimbar. Akankah nilai-nilai nasionalisme kita telah tergadaikan?
Betapa terhipno dengan K-Piala Dunia, sebagai warga negara yang baik, tontonan adu kuat si kulit bundar itu tak boleh menguras energi bangsa. Mungkin ada yang berpikir bahwa pesta bola tersebut menyembuhkan sedikit kemarahan rakyat atas situasi bangsa saat ini? Mungkin dan mungkin lagi.
Namanya juga pesta. Akankah pesta ini memabukkan lalu melupakan laga nyata para pejabat di depan layar tipu-tipu?
Sungguh, pesta ini melenyapkan seketika duka rakyat. Para rakyat menjadi penggembira dalam kolonialisasi piala dunia. Saling baku hantam satu sama lain terjadi. Padahal, para pemain santai saja dalam menikmati koco-koco bola.
Indonesia seketika hilang kebanggaan sebagai bangsa besar. Kebangkitan dunia persepakbolaan Indonesia tengah dirudung kemelut. Akhir drama timnas terakhir harus terdepak dari laga Piala Asia 2019 bersama 4 negara ASEAN yaitu Myanmar, Malaysia, Kamboja dan Singapura. Tidak masuknya timnas gegara disanksi FIFA. Lalu, apa penyebab disanksinya oleh FIFA? Hanya para "kecebong" yang tau. Pejabat pun berlaku primitif di dunia "eka terangkanlah".
Tentu sederetan kemelut dalam tubuh PSSI telah menciderai potensi anak-anak muda Indonesia yang bertalenta. Jika mau berkaca pada tahun 1938 di Prancis, PSSI harus bisa berpikir inovatif tentang masa depan timnas garuda.
Bosan juga, jika kita menepuk-nepuk dada, memuja-muja kehebatan bangsa lain, sementara bangsa kita terus mundur bagai undur-undur karena ada unsur ketidakpastiaan pengelolaan yang maksimal oleh pemerintah.
Lelah juga, jika kita mencintai yang tak pasti. Maka, cintailah Indonesia dengan seisinya. Karena begitu, majunya Indonesia tergantung seberapa besar pasal cinta kita pada negeri ini. Cukup sudah kita dikuras habis alam kita. Jangan biarkan cita-cita besar BANGKIT DAN MAJUKAN BOLA INDONESIA mati dalam cinta hampa.
Kabupaten Seram Bagian Barat
(18/06)
(ditulis dalam waktu mudik)
Komentar
Posting Komentar