soal 2

Mengubur Sepi

Dalam tandusan hati,
Iklim bergantung pada siklus naik turun gelombang nadi,
Matahari kalbu, gelap tak berlangit,
Suhu anginnya, tertunduk kelelahan. 

Sementara, drama cinta dan benci,
Benci mengalahkan cinta,
Cinta tak mau dibenamkan benci,
Rindu-rindu tak terkelola, semua orang dibuat saling sambar nyawa, 

O amarah kemerah-apian, 

Pedang dipatah-patah pada leher,
Pisau ditusuk-tusuk tajamnya menghujam pada jantung,
Jantung mati-matian ingin layak berdetak,
Disitu kasih sayang tersungkur dalam sangkar pertikaian. 

Tuhan,
Jenuhlah atas jalan berbecek yang berairkan darah dan hujaman airmata,
Mata kaki menjadi buta, petunjuk pada gemintang, tertutup keangkuhan Rahwana-rahwana.

Tuhan,
Kau, dibawa ke segala-segala tempat judi,
Bahkan, ucapan suciMu menjadi doa senggama di lokalisasi, 
Ayat-ayatMu jadi batu akik dalam lepas pisah antara Jin dan mafia-mafia perdukunan pada sesajian pohon-pohon, gunung-gunung, kuburan bahkan pepantaian. 

O berhala-berhala penuh kutukan buta. 

Ini potretan di masa kelaliman,
Kursi-kursi pejabat laku manis oleh proyek-proyek nabi palsu,
Yang datang bergaya pahlawan di atas panggung rakyat,
Rakyat dibuat bodoh dengan uang serupiah,
Disaat ekonomi bangsa kempis dan mengemis. 

O Tuhan,
Ini bolak-balik,
Arus mudik baik-buruk,
Saling menikung dalam lintasan, 

Mungkin hanya kali-kali untung,
Berpusat pada perut dan sekitarnya,
Nafsu merajai, kacau balaulah,
Tanah bergoncang, bumi terbelah,
Langit mengamuk, air laut menggulingkan istana-istana,
Tapi, jua bahasa sadar belum diterjemahkan dalam pertanyaan,
Mengapa Tuhan berikan peringatan itu? 

Tuhan,
Dalam mukjizatMu,
Kali ini, beta butuh keranda tanpa jendela,
Agar bisa bersemedi, melatih kanuragan olah sukma,
Biar hidup tak merana, dibuat mati sengsara oleh api yang sudah terlanjur membakar rumah-rumah,
Biar nafas tak perih seketika oleh air yang meniadakan diafragma,
Biar bulan menjatuhkan cahayanya pada laut,
Biar bintang tak membuang wajahnya dari bulan. 

Ambon, 13/05/2018. Pukul 00.57 WIT

Komentar