Diposting oleh
Muh. Nasir Pariusamahu
pada tanggal
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Setelah pelepasan peserta Pelatihan K13 saat Ramadhan kemarin di aula lembaga penjamin mutu Maluku, saya bergegas ke mushala untuk menunaikan sholat Magrib.
Senja yang terkumpul di barat menyurati jiwa untuk khusyuk beribadah. Bacaan sang imam menambah nilai tersebut.
Selesai sholat, saya melihat sang imam bercanda tawa dengan sebagian jamaah di teras mushala.
Saya hanya menyimak saja, sebab di antara mereka, usianya melebihi usiaku. Namun, aura canda mereka terkesan "muda" banget dan cair. Sehingga, saya pun tak gugup untuk bertanya dan berjabat tangan tanpa keraguan untuk memperkenalkan diri.
Obrolan mereka terdengar begitu serius membicarakan persoalan dinamika pendidikan. Mulai dari manajemen, politik anggaran, pemerataan tenaga pendidik, serta kualitas sekolah di era otonom.
Bisa dimaklumi, sebab Maluku termasuk kawasan tertinggal dari segi pendidikan. Mutu pendidikan berada pada great bawah atau juru kunci. Maka, jika dalam pedoman penskoran persepakbolaan, Maluku terdepak dari Liga Utama.
Tapi, tak masalah. Masih banyak manusia-manusia tulus yang rela mengorbankan harinya guna mengabdikan diri tanpa pamrih dalam menjaga panji pendidikan agar tetap berkibar dan meninggi.
Salah satu contohnya Pak Murad. Nama lengkapnya La Madi Murad. Beliau tinggal di kawasan Tantui, namun tempat ngajarnya di SMP Negeri 18 Ambon, Desa Ema Kacamatan Leitimur Selatan. Setiap harinya beliau menempuh perjalanan sekitar 13 km menuju sekolah. Naik-turun angkot, melewati beberapa desa, perbukitan, berjalan kaki pernah dilakukan oleh beliau.
Kecamatan Leitimur, walau termasuk kawasan kota, tetapi jalan menuju ke sana masih belum baik. Jika, terjadi hujan, maka siap-siap untuk menghadapi tanah longsor dan retakan tanah bahkan banjir pada seluruh lingkar jalan rayanya.
Usianya yang sudah lansia tetap berenergi. Semangat jiwanya mendatangkan berkah. Baru saja beliau mendapat penghargaan dari pemkot atas jasanya pada sela Hari Pendidikan tahun ini.
Beliau bilang," ana e, jadi orang itu harus biking sanang orang. Jang, beda-bedakan. Deng bagitu, katong bisa hidop di mana saja."
Kisah uniknya ialah ketika tragedi sosial yang melanda Ambon dulu tak membuat beliau bergeming. Malah bertahan di sekolah tersebut hingga kini. Sambutan masyarakat," bapa guru, telah mengakrabkan kehidupan. Kata beliau," beta deng dong su jadi keluarga.
#tutWuriHandayani
Komentar
Posting Komentar