soal 2

Catatan Pemilu Malaysia Terhadap Indonesia

Dibalik kemenangan partai oposisi, berawal dari isu pemilu Malaysia yaitu melambungnya harga kebutuhan hidup, gap antara kaya miskin terjadi, kehidupan glamor keluarga penguasa, dan terpenting adalah imperialslisme modern Tiongkok.
Sebagai negara tetangga, spirit kemenangan pemilu di Malaysia menjadi hikmah demokrasi bagi Indonesia. Setahun lagi, pemilihan umum serentak (pileg dan pilpres) diadakan sepaket. Rilis lembaga survei, misalnya LSI, parpol dibagi telah terbagi dalam empat golongan berdasarkan angka PT. Menariknya, kategori partai papan atas ditempati oleh partai yang bernafas langsung dengan orde baru, walaupun beraliran politik yang berbeda. Ketiga partai itu, Golkar, PDIP, dan Gerindra.
Menariknya, soal pilpres, hanya Gerindra-lah yang sudah mendeklarasikan capresnya dengan mengusung Prabowo. Sementara, Golkar dan PDIP masih ragu-ragu dalam menyalonkan sosoknya. Sebelum itu, media sudah mengenduskan Incumbent, Jokowi sebagai kandidatnya. Namun, mereka seperti kehilangan kepercayaan diri, walaupun PDIP dan Golkar menjadi partai raja saat ini diparlemen, tetapi, soal siapa yang dijagokan, mereka khawatir karena Jokowi pun masih belum aman elektabilitasnya.
Disamping itu, pemilu 2019 menjadi pemilu yang sangat terseksi isunya. Berkaca dari pemilu Malaysia hari ini, maka ada tiga hal:
1. Orang lama masih mendominasi
Hasil pemilu Malaysia yang merebut 222 kursi parlemen, menghentikan langkah Partai Pengusan Barisan Nasional. Partai Opisisi sang mantan PM Malaysia, malah mendulang suara yang naik signifikan. Malahan, di daerah negara bagian Johor basis penguasa,  sang oposisi mudah menang. Dengan optimistis, Mahathir berujar kalau koalisi PH telah mengamankan Penang, Selangor, Melaka, Negeri Sembilan,  dan Kedah juga.
Dilihat dari sisi pengalaman, Mahathir adalah sosok berpengalaman. Pernah menjabat sebagai PM sezaman dengan Suharto (Presiden RI masa itu) telah menjadikan beliau petarung yang tau medan. Dibawah kepemimpinan beliau, Malaysia sangat maju.
Itu artinya, masyarakat bukan saja memerlukam ide perubahan, melainkan berpengalaman.
2. Pertarungan kepentingan Amerika dan Tiongkok
Isu ini yang sedang menjadi krusial efek, khususnya negara-negara yang berada di ASEAN. Keterlibatan Amerika dan Cina dalam perdagangan global telah menimbulkan tensi yang tinggi.
Kebetulan saya pernah ke Malaysia, baru tahun kemarin. Saya menyaksikan sendiri keadaan itu. Hampir 90% lambang-lambang  Tiongkok merajai segala jiku Malaysia. Salah satunya, keberadaan Megaproyek Forest City di Johor. Yang menimbulkan naiknya daya hidup masyarakat. Sehingga, yang terjadi adalah gap sosial. Masih ada juga yang lain tentu.
3. Glamornya pejabat penguasa.
Tred berkuasa adalah kemewahan. Hal itu telah mendarah daging. Sehingga, akan mempengaruhi sikap politik masyarakat. Efeknya penguasa kehilangan suara yang cukup berat. Apalagi jika yang melakukan hal tersebut adalah keluarga istana.
Nah, setidaknya, di Indonesia jelang pemilu 2019. Penguasa mesti cermat dalam menarik perhatian publik. Tetapi, bagaimana mau berhasil, sementara Istana belum bisa memberikan jawaban atas problematika yang ada. Mungkinkah di injury time harga sembako baru diturunlan, BBM digratiskan, nilai kurs rupiah diperbaiki, TKA ditindaklanjuti?
Karena jika tidak, partai penguasa akan kehilangan marwahnya. Itu artinya siklus kepempimpinan ke depan akan berubah dari Beringin ke Banteng. Banteng ke Garuda. Ingat pada pembahasan poin satu, bahwa yang dibutuhkan Indonesia ke depan adalah pemimpin berpengalaman dan bisa merubah kondisi yang sekarang. Ingat pula, serikat partai Nasionalis-Religius (Gerindra-PKS) telah menjadi oposisi yang telah dikawinkan atas semangat Indonesia Baru. Maka, ini bisa menjari kuda hitam bagi penguasa.
Semoga Malaysia-Indonesia selalu bisa berkawan dan memajukan Asia Tenggara. Tentu dengan pemimpin yang visioner dan merakyat. Amin.

Komentar