|
documen |
Arak-arakan sepeda motor di
awal magrib. Suara-suara teriakan histeris. Itu suara para generasi muda kita.
Orang tua hanya bisa melongo. Para guru hanya bisa menggigit bibirnya. Para
polisi dibuat bingung di lorong-lorong.
Itulah kejadian yang terjadi di
senja ini. Ambon mendadak ramai dengan pesta kelulusan anak-anak SMA. Inilah
pesta anak ABG. Remaja yang telah dewasa dengan 12 tahun masa pensiun dininya
sejak SD hingga SMA.
Kiranya, fakta-fakta ini terus
berulang. Tak tau apa yang menjadi tarikannya. Luapan kegembiraan mereka seakan
menyudahi langkah hidup mereka.
Menariknya ini terjadi di hari
pendidikan. Uniknya ,2 Mei 2017 adalah hari ditetapkannya UN bagi jenjang
pendidikan SMP sekaligus penetapan kelulusan jenjang pendidikan tingkat atas.
Seharusnya sambutan pak menteri
lewat upacara pagi tadi, menjadi buah kesadaran bagi semua pelaku-pelaku
pendidikan. Baik siswa, guru, dan sekolah. Terlebih orang tua sebagai pintu
pertama anak dididik.
Masih saja, saya mencoba
mencari benang merahnya. Masihkah kini, trend hasil kelulusan dihiasi dengan
kisah-kisah bahagia di ujung maut. Tahun kemarin, dekat mata saya, satu korban
tewas, akibat ugal-ugalan, memakai baju seragam putih abu-abu, ternyata baru
saja menghabiskan pesta kelulusan bersama kawannya di siang itu. Masih banyak kasus
serupa yang terjadi di hari-hari bersejarah anak-anak usia seventeen.
Ini hanya sebagai evaluasi,
apakah ini merupakan sebuah bukti bahwa telah terjadi kegagalan dalam sistem
pendidikan kita? Sesungguhnya ini bukan budaya kita sebagai manusia timur.
Orang timur dikenal sopan dan penuh etika.
Ya. Hari
ini kita harus mengakui bahwa ini kegagalan. Renungkan sejenak arah pendidikan nasional yang termaktub dalam
kitab Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara.
Dari situ, kita akan
menemukan satu kata kunci yakni kesadaran. Kesadaran kuat akan menghasilkan
integritas kejujuran. Bertanyalah dalam hati, apakah sampai saat ini, para orang
tua telah menanamkan sikap tersebut pada anaknya di rumah? Atau orang tua lebih
sibuk memilih pulang malam keluar pagi daripada mengoreksi situasi sekolah anak
setiap harinya.
Sebagai guru, apakah kita
telah mengimplementasikan pesan Ki Hajar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani secara utuh pada anak didik di sekolah.
Sebagai sekolah,
apakah kita telah memberikan layanan prima terhadap siswa terkait iklim yang kondusif
bagi tata kelola pembelajaran selama jam sekolah.
Sebagai pemerintah,
apakah sudah memberikan standar pemerataan dan berkualitas pada satuan
pendidikan atau belum.
Sebagai siswa, masa
depanmu masih panjang. Tak boleh kau hapus amal baikmu, prestasi sekolahmu,
nama baik ibu bapakmu, demi sedetik mencoret-coret seragam sekolah. Rayakanlah
dengan memberikan hadiah terbaik bagi yang mencintaimu; Tuhanmu, orang tuamu,
ibu bapak gurumu.
Jika semua komponen
itu telah terpenuhi, usaha sadar para siswa akan terwujud. Kesadaran akan
menjadi benteng bagi siswa untuk menjalankan aksi-aksi diluar batas kewajaran.
baca juga: http://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/percepat-pendidikan-merata-dan-berkualitas_59085ac04723bd255e54a777
Komentar
Posting Komentar