|
Fahri Hamzah ( DPR-RI) |
Fahri Hamzah nama besarnya. Seorang manusia terlahir dari rahim pergerakan dan
masyarakat Nusa Tenggara Barat 45 tahun silam. Komitmen beliau tidak mengenal
kontekstual.
Tulisan ini bukan untuk mengultuskan atau memuja-muja sosok
fenomena ini. Sebab, agama saya juga Fahri sangat melarang itu. Melarang
memuja-muja Tuhan selain Illah.
Baru tadi malam kata-kata ketirnya muncul lagi bagai petir.
Kemunculan ILC dengan topik “KPK” pastilah Fahri terlibat argumen dalam forum
TV One itu. Tak sedap, jika topik kopi hangat tersebut, tak ada Fahri
didalamnya.
Diskusinya keren. Saya sangat kagum dengan semua pembicara
yang berdurasi sekitar 2 jam lebih itu. Kepala saya menggeleng-geleng, kadang
membenarkan, kadang membingunkan.
Sebagai anak Indonesia. Tentunya kita menginginkan sebuah
keadilan yang merata di depan hukum. Makna keadilan adalah tanpa pandang bulu.
Jangan menjadi tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Reformasi telah memberikan kita sebuah peralihan nilai.
Nilai transparansi, salah satunya. Khususnya dalam soal hukum. Sekarang kampium-kampium
reformasi, majulah ke muka, susunlah pergerakan sesuai garis-garis yang telah
terguratkan dalam UU.
Hebatkan semua semangat religius nasionalis yang ada dalam
dadamu, hebatkan semua kecakapan mengorganisasi di dalam tubuhmu. Wahai
aktivis!
Dan, Fahri terlepas dia dibesarkan dari pergerakan mana dan
partai apa, menurut saya, adalah manusia unik dan sangat komitmen dengan arah
perjuangannya. Selayaknya pemuda Kahfi, kisahnya bukan dongeng.
Sejak 2013, saya pernah jumpa dan diskusi dengannya di
Jakarta, pada beliau, saya melihat Ibrahim dewasa yang gentol melawan
keberhalaan pada kaumnya. Begitu runut pikiran beliau dalam mengonstruksisasi
tatanan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Saya masih baru saat itu, boleh dikatakan masih belia dalam
memahami apa yang beliau sampaikan. Tetapi sebagai warga ilmiah, saya tidak
sampai disitu untuk mendeksripsikan sosok manusia detektif Conan ini.
Nah, nalar saya pun menjadi rasional ketika membaca beberapa
buku karya beliau, salah satunya Negara, Pasar dan Rakyat. Dan masih ada lagi
bukunya. Bagi saya, menilai seseorang tidaklah cukup dengan kata-kata lisannya.
Kadang lisan bertolak belakang dengan apa yang diotaknya. Diotaknya beda lagi
dengan apa yang dilakukannya. Itulah iman dan keyakinan seperti Ibrahim kecil
melakukannya.
Berbeda dengan Fahri, disebut singa parlemen ini. Apa yang
dia ucap, dia tulis, dia lakukan begitu selaras. Walau dalam keselarasannya
menganggu tidur segelintir pejabat Negara.
Itu yang terjadi hari ini. 2013 sampai detik ini, komitmen
sang wakil rakyat ini masih sama, menggunakan palu, memberikan keadilan merata.
Bukan melawan.
Kata beliau,” Agama telah mengajari kita untuk percaya pada
hal Irasional, sebagai bukti keimanan kita sebagai hamba Tuhan. Dalam bernegara,
kita harus rasional dalam menentukan nasib rakyat banyak.”
Sekali lagi tanpa membesar-besarkan beliau sebagai pahlawan
keadilan Indonesia. Itu terlalu berlebihan. Sebab, yang bergelar pahlawan itu
mereka yang sudah tiada. Beliau hanya sepentil dalam kendaraan Indonesia yang
menjadikan jas kekuasaannya demi manusia 200-an juta jiwa.
Makna dari pergulatan fikir perjuangan beliau adalah negara
ini harus saling terbuka dan memberi masukan. Saling menasehati dalam kebaikan
maupun kesabaran. Reformasi telah memberikan kita semua itu untuk mengatur
kestabilan ruh NKRI.
Sebagai warga publik, saya mengajak. Nikmati saja kegaduhan
yang terjadi di republik ini. Semoga dibalik kesemerawutan aqidah politik ini,
bisa terluruskan suatu saat nanti. Saya yakin, dibenak saudara-saudara sebangsa
setanah air, juga masih simpang-siur, siapa benar-siapa salah. Itulah kenyataan
akhir zaman, zaman perang tanpa senjata.
Maka, sembahyanglah di surau-surau, di gereja-gereja, di
kuil-kuil, lalu ucapkan doa: Ya Tuhan, tunjukilah kepada kami, benar itu benar.
Salah itu salah.
Karena doa adalah sebab-sebab maknawi, tapi doa bisa memberi
hasil materi yang bisa dilihat dan dirasakan.
Disini hanya puisi teratai yang bisa kubacakan buat Fahri:
Dalam kebun ditanah airku,
Tumbuh sekuntum bunga teratai,
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun bersemi laksmi mengarang,
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o Teratai Bahagia,
Berseri di kebun indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.
Biarpun engkau tidak dilihat,
Biarpun engkau tidak diminat,
Engkaupun turut menjaga Zaman.
(Sanoesi Pane, 1929)
Komentar
Posting Komentar