|
dari kiri: Bunda Eva, Bunda Desy, Bunda Nadra ( Depan Kantor SMAN 1 Seram Utara) |
Usai
juga petualang wisata dedikasi. 48 Jam bersama tim telah memberikan arti begitu
mendalam ketika menjumpai berbagai orang di tempat tujuan. Pagi dini hari,
pukul 02.00 WIT, kami diterima langsung oleh kepala Desa Wahai, Bapak Hasan
Salatin, di kediamannya, kompleks Hatui, Wahai. Beberapa jam kami berdiskusi
tentang pentingnya tanggung jawab dan kesabaran sebagai seorang pemimpin.
Sejenak, kita mentadabburi kisah
Yusuf as, sebagai Nabi yang pernah dibuang oleh keluarganya sendiri, ternyata
ada korelasi khusus di kemudian hari antara makna kesabaran dan kepemimpinan.
Apakah itu? Ternyata jarak kesabaran yang dialami Yusuf as. menuju kursi
kekuasaan menggantikan penguasa Mesir kala itu adalah 40 tahun. Kasus ini mengingatkan
kita pada ayat yang diturunkan
kepada Nabi Yusuf begitu beliau berada di dalam sumur “dan kami wahyukan kepada
Yusuf, bahwa suatu saat kamu akan menceritakan kembali peristiwa ini kepada
mereka dan mereka tidak menyadarinya” itulah yang memberikan kesabaran yang
luar biasa kepada Nabi Yusuf, dan kesabaran itulah yang membuat beliau menempuh
hidup yang begitu panjang.
Secerek
teh hampir setengah ukurannya. Kantuk dan lelah telah membenamkan bola mata.
Setelah melewati jalanan terjal, curam, bercadas beratus-ratus kilometer,
melewati hutan ke hutan, kampung ke kampung (±500-an km) Ibarat kami melewati
gelombang di atas daratan. Salah satu temanku mengatakan dalam bahasa Melayu
Ambon,” badang saki-saki e.
Tarik
ulur malam ke siang. Wajah kota tua; Wahai benar-benar kasatmata. Kasatmata
tampak kecamatan tertua di Maluku Tengah ini masihlah “perawan”. Hanya ada
oknum-oknum tertentu yang mengobrak-abrik keindahan taman-tamannya. Menikmati
pagi dengan segelas kopi kampung dan roti, topik masih saja hangat tentang arti
pengabdiaan. Sebelum itu, tak sengaja, bertemu dengan kepala sekolahku dulu,
tak sampai sejam topik bicara kami seputar ijtihad kepemimpinan. “Banyak orang
yang mengaku pemimpin, hanya menjadi bunga-bunga atau menjadi harimau bagi
lainnya. Homohominilupus. Sehingga
perilaku tebang-pilih, penistaan kekuasaan menjadi trend kepemimpinan
masa kini. Pada akhirnya, orang-orang dipimpinnya merasa teraniaya. Tunggulah
kematian mendadak yang akan menimpa pemimpinnya.”. Thanks pa Hadjan atas narasi pengalamannya.
Tepat
pukul 08.30 WIT, gerobak yang mengangkut bantuan didorong menuju posko
kebakaran. Sapanjang aspal yang licin, masih sepi dari roda-roda angkutan.
Gerobak kaki dua itu pelan-pelan sampai pula di posko. Menghabiskan waktu di
situ sangatlah membosankan. Lepas membagikan bantuan kepada kepala posko, kami
selanjutnya meninjau lokasi kebakaran. Hanya dengan jalan kaki, butuh 10 menit
menuju lokasi kebakaran yang berada di areal batas laut.
Sempat
juga bercengkerama dengan para pedagang yang tengah berjualan disitu. Aura
traumatis sepertinya diobati dengan senyum tanpa batas. “Malam itu, dini hari,
tanggal 3 Maret 2017, tiang-tiang
listrik dipukul bertalu-talu, orang-orang berlari berhamburan ke luar. Kobaran
sinaran merah bak iblis yang mengaung. Harta benda milik korban hanya bisa
dibiarkan dinikmati si jago merah dalam beberapa detik. Ditambah angin yang
begitu kencang, air –air ikut terbakar. Para korban hanya bisa menyaksikan
benda berharga mereka menjadi abu di pagi hari. “api kayak setang sa.
Kobarannya kayak Naga pung bola api,” kata para saksi.
|
with student senior high school the north of seram |
Cerita
ini hanya bisa menahan airmata duka. Wajah Wahai yang berseri di corat-coret
lagi dengan malapetaka tersebut. Setelah sebelumnya terjadi aksi pembakaran
terhadap fasilitas pemerintah, akibat disharmonisnya masyarakat dan pemerintah
daerah dalam adu kuat tentang pemekaran wilayah baru. Seharusnya, Wahai
diberikan otonomi baru agar masyarakatnya bisa hidup baru. Bukan didikte.
Tampaklah
dari ujung lokasi kebakaran. Pohon-pohon hijau masih menemani pagar-pagar. Kota
yang konon pernah disinggahi presiden pertama RI, Sukarno dalam lawatan ke
Papua tempo lalu tertunduk malu dengan alamnya. 9 tahun sudah, tempat bermainku
sepulang sekolah, dulu yang ramai menjadi kumuh dengan abu-abu yang berterbangan.
Segalanya telah berakhir? Belum. Wahai terus ada. Walau pusat pemerintahan dan
perekonomiannya lumpuh akibat tragedi-tragedi yang menimpanya.
Sambil
menunggu jamuan teh pagi di atas KMP Inelika, fajar telah sepuluh derajat di
atas permukaan. Laut masih teduh siap mengawal lajunya baling-baling kapal yang
memukul keras. Selamat jalan dermaga. Kapal berputar menuju kota.
Pada
laut seram, Wahai tak kulupakan. Disitu banyak airmata yang telah kutumpahkan.
Disitu banyak senyum yang ditebarkan. Senyummu, senyumku. Luka kakimu. Luka
hatiku. Senyum para guru-guru dalam memberikan seribu motivasi. Dedikasi mereka
adalah jalan juang kesuksesanku.
Tanpa
mengurangi perjalanan. Kugunakan peribahasa,” sambil mendayung, tiga pulau
terlampuai. Kisah-kasih di sekolah membawaku kembali untuk bernostalgia dengan
para guru dan siswa di almamaterku tercinta; SMA Negeri 1 Seram Utara.
Sekolah
ini bediri sejak 1987, 5 tahun berikutnya saya dilahirkan. Berdiri megah di
atas bukit Wahai menambah keperkasaan bangunan-bangunannya serta permai
halamannya karena dipagari oleh pohon-pohon hijau, sehingga memudahkan proses
fotosintesis. Lagi pun udara memberikan oksigen yang masih murni dari pori-pori
dedaunan yang bermanfaat untuk kesehatan.
Berjalan
lewati areal perkebunan masyarakat, kami
pun sampai di sekolah yang menjadi masa akhir sekolah menengahku. Ada banyak
hal sangat berubah pada sekolah ini. Sudah lima kepala sekolah, dan kini lebih
dahsyatnya dipimpin oleh seorang kepala sekolah perempuan. Sebagai sekolah yang
paling tua di Bumi Manusela, SMA ini telah banyak menelurkan alumni di pelbagai
bidang. Hanya masih banyak PR yang harus disinergikan oleh para alumni dan
seluruh stakeholder yang sedang berproses.
Lagi-lagi
ini soal dedikasi. Facebook sudah punya. BBM sudah punya. Twitter sudah punya.
Hanya saja jaringan belum memadai. Maka, sudah sepantasnya semua pihak harus
sedia membangun dan bekerjasama membangun masa depan pendidikan. Hidup check and balance
Pendidikan
merupakan fondasi penting dalam membangun sumber daya manusia sebuah bangsa. Pendidikan
yang baik diukur dari adanya peningkatan mutu sehingga lembaga pendidikan bisa
bersaing di era yang sangat kompetitif ini. Penyadaran membangun inilah yang
harus dipatrikan layaknya peran orang tua dan guru. Lewat tangan lembut orang
tua, dan kata-kata hikmah para guru sehingga anak-anaknya sukses.
Banyak
hal yang kami nostalgiakan bersama para guru-guru dan adik-adik di sekolah itu.
Tetiba saja sebuah pertanyaan muncul dibenakku,” Mengapa aku mencintai sekolah
ini? Jawabannya belum bisa saya daftarkan dalam paragraf ini. In sya Allah, di
waktu yang tepat akan saya uraikanJ
Amat,” mari jaga peran kita. Peran kita sebagai
guru. Peran kita sebagai siswa. Peran kita sebagai alumni,” kata perpisahan,
sang guru IPAku.
baca juga: http://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/19-tahun-dedikasi-kammi-refleksi-48-jam-ekspedisi-kemanusiaan-di-pulau-seram-bagian-1_58e0cb68b29273a5187546bc
ditambah juga: http://sahabatmuslimnegarawan.blogspot.co.id/2016/05/guru-digugu-lan-nan-ditiru.html
S E L E S A I
Komentar
Posting Komentar