soal 2

19 TAHUN DEDIKASI KAMMI: Refleksi 48 Jam Ekspedisi Kemanusiaan di Pulau Seram (bagian 2)

dari kiri: Bunda Eva, Bunda Desy, Bunda Nadra
 ( Depan Kantor SMAN 1 Seram Utara)
Usai juga petualang wisata dedikasi. 48 Jam bersama tim telah memberikan arti begitu mendalam ketika menjumpai berbagai orang di tempat tujuan. Pagi dini hari, pukul 02.00 WIT, kami diterima langsung oleh kepala Desa Wahai, Bapak Hasan Salatin, di kediamannya, kompleks Hatui, Wahai. Beberapa jam kami berdiskusi tentang pentingnya tanggung jawab dan kesabaran sebagai seorang pemimpin. Sejenak, kita mentadabburi kisah Yusuf as, sebagai Nabi yang pernah dibuang oleh keluarganya sendiri, ternyata ada korelasi khusus di kemudian hari antara makna kesabaran dan kepemimpinan. Apakah itu? Ternyata jarak kesabaran yang dialami Yusuf as. menuju kursi kekuasaan menggantikan penguasa Mesir kala itu adalah 40 tahun. Kasus ini mengingatkan kita pada ayat yang diturunkan kepada Nabi Yusuf begitu beliau berada di dalam sumur “dan kami wahyukan kepada Yusuf, bahwa suatu saat kamu akan menceritakan kembali peristiwa ini kepada mereka dan mereka tidak menyadarinya” itulah yang memberikan kesabaran yang luar biasa kepada Nabi Yusuf, dan kesabaran itulah yang membuat beliau menempuh hidup yang begitu panjang.
Secerek teh hampir setengah ukurannya. Kantuk dan lelah telah membenamkan bola mata. Setelah melewati jalanan terjal, curam, bercadas beratus-ratus kilometer, melewati hutan ke hutan, kampung ke kampung (±500-an km) Ibarat kami melewati gelombang di atas daratan. Salah satu temanku mengatakan dalam bahasa Melayu Ambon,” badang saki-saki e.
Tarik ulur malam ke siang. Wajah kota tua; Wahai benar-benar kasatmata. Kasatmata tampak kecamatan tertua di Maluku Tengah ini masihlah “perawan”. Hanya ada oknum-oknum tertentu yang mengobrak-abrik keindahan taman-tamannya. Menikmati pagi dengan segelas kopi kampung dan roti, topik masih saja hangat tentang arti pengabdiaan. Sebelum itu, tak sengaja, bertemu dengan kepala sekolahku dulu, tak sampai sejam topik bicara kami seputar ijtihad kepemimpinan. “Banyak orang yang mengaku pemimpin, hanya menjadi bunga-bunga atau menjadi harimau bagi lainnya. Homohominilupus. Sehingga perilaku tebang-pilih, penistaan kekuasaan menjadi trend kepemimpinan masa kini. Pada akhirnya, orang-orang dipimpinnya merasa teraniaya. Tunggulah kematian mendadak yang akan menimpa pemimpinnya.”. Thanks pa Hadjan atas narasi pengalamannya.
Tepat pukul 08.30 WIT, gerobak yang mengangkut bantuan didorong menuju posko kebakaran. Sapanjang aspal yang licin, masih sepi dari roda-roda angkutan. Gerobak kaki dua itu pelan-pelan sampai pula di posko. Menghabiskan waktu di situ sangatlah membosankan. Lepas membagikan bantuan kepada kepala posko, kami selanjutnya meninjau lokasi kebakaran. Hanya dengan jalan kaki, butuh 10 menit menuju lokasi kebakaran yang berada di areal batas laut.
Sempat juga bercengkerama dengan para pedagang yang tengah berjualan disitu. Aura traumatis sepertinya diobati dengan senyum tanpa batas. “Malam itu, dini hari, tanggal 3 Maret 2017,  tiang-tiang listrik dipukul bertalu-talu, orang-orang berlari berhamburan ke luar. Kobaran sinaran merah bak iblis yang mengaung. Harta benda milik korban hanya bisa dibiarkan dinikmati si jago merah dalam beberapa detik. Ditambah angin yang begitu kencang, air –air ikut terbakar. Para korban hanya bisa menyaksikan benda berharga mereka menjadi abu di pagi hari. “api kayak setang sa. Kobarannya kayak Naga pung bola api,” kata para saksi.
with
 student senior high school the north of seram 

Cerita ini hanya bisa menahan airmata duka. Wajah Wahai yang berseri di corat-coret lagi dengan malapetaka tersebut. Setelah sebelumnya terjadi aksi pembakaran terhadap fasilitas pemerintah, akibat disharmonisnya masyarakat dan pemerintah daerah dalam adu kuat tentang pemekaran wilayah baru. Seharusnya, Wahai diberikan otonomi baru agar masyarakatnya bisa hidup baru. Bukan didikte.
Tampaklah dari ujung lokasi kebakaran. Pohon-pohon hijau masih menemani pagar-pagar. Kota yang konon pernah disinggahi presiden pertama RI, Sukarno dalam lawatan ke Papua tempo lalu tertunduk malu dengan alamnya. 9 tahun sudah, tempat bermainku sepulang sekolah, dulu yang ramai menjadi kumuh dengan abu-abu yang berterbangan. Segalanya telah berakhir? Belum. Wahai terus ada. Walau pusat pemerintahan dan perekonomiannya lumpuh akibat tragedi-tragedi yang menimpanya.
Sambil menunggu jamuan teh pagi di atas KMP Inelika, fajar telah sepuluh derajat di atas permukaan. Laut masih teduh siap mengawal lajunya baling-baling kapal yang memukul keras. Selamat jalan dermaga. Kapal berputar menuju kota.
Pada laut seram, Wahai tak kulupakan. Disitu banyak airmata yang telah kutumpahkan. Disitu banyak senyum yang ditebarkan. Senyummu, senyumku. Luka kakimu. Luka hatiku. Senyum para guru-guru dalam memberikan seribu motivasi. Dedikasi mereka adalah jalan juang kesuksesanku.
Tanpa mengurangi perjalanan. Kugunakan peribahasa,” sambil mendayung, tiga pulau terlampuai. Kisah-kasih di sekolah membawaku kembali untuk bernostalgia dengan para guru dan siswa di almamaterku tercinta; SMA Negeri 1 Seram Utara.
Sekolah ini bediri sejak 1987, 5 tahun berikutnya saya dilahirkan. Berdiri megah di atas bukit Wahai menambah keperkasaan bangunan-bangunannya serta permai halamannya karena dipagari oleh pohon-pohon hijau, sehingga memudahkan proses fotosintesis. Lagi pun udara memberikan oksigen yang masih murni dari pori-pori dedaunan yang bermanfaat untuk kesehatan.
Berjalan lewati areal perkebunan  masyarakat, kami pun sampai di sekolah yang menjadi masa akhir sekolah menengahku. Ada banyak hal sangat berubah pada sekolah ini. Sudah lima kepala sekolah, dan kini lebih dahsyatnya dipimpin oleh seorang kepala sekolah perempuan. Sebagai sekolah yang paling tua di Bumi Manusela, SMA ini telah banyak menelurkan alumni di pelbagai bidang. Hanya masih banyak PR yang harus disinergikan oleh para alumni dan seluruh stakeholder yang sedang berproses.
Lagi-lagi ini soal dedikasi. Facebook sudah punya. BBM sudah punya. Twitter sudah punya. Hanya saja jaringan belum memadai. Maka, sudah sepantasnya semua pihak harus sedia membangun dan bekerjasama membangun masa depan pendidikan. Hidup check and balance
Pendidikan merupakan fondasi penting dalam membangun sumber daya manusia sebuah bangsa. Pendidikan yang baik diukur dari adanya peningkatan mutu sehingga lembaga pendidikan bisa bersaing di era yang sangat kompetitif ini. Penyadaran membangun inilah yang harus dipatrikan layaknya peran orang tua dan guru. Lewat tangan lembut orang tua, dan kata-kata hikmah para guru sehingga anak-anaknya sukses.
Banyak hal yang kami nostalgiakan bersama para guru-guru dan adik-adik di sekolah itu. Tetiba saja sebuah pertanyaan muncul dibenakku,” Mengapa aku mencintai sekolah ini? Jawabannya belum bisa saya daftarkan dalam paragraf ini. In sya Allah, di waktu yang tepat akan saya uraikanJ
Amat,” mari jaga peran kita. Peran kita sebagai guru. Peran kita sebagai siswa. Peran kita sebagai alumni,” kata perpisahan, sang guru IPAku. 

baca juga: http://www.kompasiana.com/nasirpariusamahu/19-tahun-dedikasi-kammi-refleksi-48-jam-ekspedisi-kemanusiaan-di-pulau-seram-bagian-1_58e0cb68b29273a5187546bc

ditambah juga: http://sahabatmuslimnegarawan.blogspot.co.id/2016/05/guru-digugu-lan-nan-ditiru.html 

S E L E S A I

Komentar