Diposting oleh
Muh. Nasir Pariusamahu
pada tanggal
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
#guru di gugu lan nan ditiru. Mungkin kita pernah mendengar, membaca tentang maksud dari ungkapan sederhana di atas. Lantas terbesit pada keadaan kita masa lampau. Duduk di kelas satu sekolah dasar lantas kita disuapin angka matematika sederhana:1+1=2, belajar menggambar pemandangan laut dan gunung. Bahkan sesekali lukisan itu berbentuk corat - coret yang membuat senyum sepoi, diajar menulis tulisan indah yang kemudian dibangku perguruan tinggi ku kenal lanjut dengan istilah lebih modern yakni penulisan kreatif. Begitulah kisah guru dalam mendidik anak-anak yang seusiaku dulu. Mereka, ku tau sebenarnya marah akan sikap kenakalan dasar tersebut, mencoret di baju seragam bahkan di dinding kelas. Tapi raut wajah mereka tetap kharismatik mempesona. Setiap pagi, mereka masuk menyapa kabar, berdoa berjamaah lantas memandu satu persatu. Betapa sungguh sulitnya mengasuh hampir 50-an siswa dasar kala itu. Tetapi wajah mereka tetap kokoh dengan senyum tulus, menebar inspirasi, memberikan penguatan. "ing ngarso suntolodo, ingin madya mangun karsa, tut wuri handayani." sebab mereka yakin kelak anak-anaknya ini akan menjadi generasi emas berkualitas. Mereka datang pagi lebih awal dan pulang paling akhir. Bicara gaji tidaklah seberapa dengan biaya energi yang mereka baktikan. Hanya satu cita cita yang ku pahami dari sentuhan tangan halus mereka: tidak ada pembodohan kelak yang melanda bangsa ini. Engkau prasasti kecerdasan dalam hidup anak bangsa. Pahlawan tanpa tanda jasa. Sejak itulah nilai-nilai itu melekat dalam sukma dan kubiarkan melanjutkan kiprah mereka. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain? Makna kebermanfataan sesungguhnya berkorelasi dengan makna keterpanggilan jiwa atas kondisi realita yang lagi terjadi. Bukankah kita kelak meninggal akan diterputus koneksinya dengan disalin kecuali tiga perkara. Yakni doa anak yang saleh, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Era ini, guru bukan lagi terdefinisikan seperti yang dulu. Kata ungu band dalam syairnya" tak seperti yang dulu." lantas muncullah pembanding antara dulu variabel "dulu" dan "sekarang". Lantas muncul sebuah hipotesa " guru sekarang beda sama guru yang dulu". Namun bagi saya, itu bukan faktor pembeda utama. Boleh jadi gurunya masih konsisten dengan pengabdiannya, namun zaman telah mengabsurd makna pengabdian pada gelombang kepentingan. Sehingga khalayak dalam hal ini orang tua, hanya menjadikan guru sebagai alat kelengkapan status kelembagaan formal untuk mendapatkan ijazah bagi anaknya. Sisi lain, zaman digital telah menjadi sumber inspirasi bagi semua orang. Sehingga ruang-ruang pemberi informasi yang bersifat tatap muka di kelas pelan-pelan mulia pudar. Google dan sejenisnya ternyata telah membuat variasi nilai jual lebih mahal ketimbang guru di sekolah. Akhirnya nilai-nilai keakraban antara siswa dan guru semakin tak terkelola dengan baik. Ada semacam like and dislike. Ditambah dengan tata kelola lembaga pendidikan yang bersifat tak pro aktif. Maka guru menjadi sarana kambing hitam dalam mendidik. *selamat hari pendidikan2mei2016. *ambon
By.M.Nasir Pariusamahu
Komentar
Posting Komentar