Kabar tentang diselenggarakan rapat kerja
nasional PGRI (Teacher's Union of the Republic of Indonesia; Persatuan
Guru Seluruh Indonesia) III di Ambon pada tanggal 29 Januari hingga 1 Februari
mendatang merupakan sebuah kebanggan
tersendiri sebagai anak daerah. Mengapa demikian? Bagi saya, ini bukan saja
sebagai bagian dari sebuah kesuksesan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan
peran Maluku di kancah nasional, ataupun sebagai ajang promosi kepariwisataan
lewat dunia pendidikan. Juga membangun
semangat hubungan komunikasi guru dan siswa dalam rangka turut serta
membangun daerah ini, guna meningkatkan komunitas dan solidaritas
seluruh guru yang ada di Maluku. Namun, bagi saya yang terpenting adalah ada
sebuah itikad baik untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Apalagi Maluku
yang tengah dilanda “penyakit akut” dalam pendidikan. Hasil ujian kompetensi guru
(UKG) Maluku semakin terpuruk karena berada pada posisi juru kunci dari 34
provinsi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Papua di
tahun 2015 kemarin. Sungguh memprihatinkan karena hal ini sudah berulang kali
dibeberapa tahun belakangan. UKG memetakan baseline yang berkaitan
dengan dua hal yaitu kemampuan paedagogi dan kemampuan profesionalitas ini ternyata
terkendala lewat instrumen IT. Hal ini juga yang menjadi kendala dalam
manajemen sistem informasi pendidikan.
Kita tentunya telah mengetahui sungguh tentang
sebuah makna pendidikan bagi perubahan sosial, pembentuk civil society.
Upaya pemerintah dalam membantu kelancaran pendidikan telah kita akui
adanya. Hal tersebut telah dipaparkan
dalam UUD 1945 ayat 4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang – kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
nasional”.
Namun, hal tersebut menjadi sebuah
pertanyaan penting bahwa, apakah dengan adanya pengalokasiaan dana tersebut
oleh APBN/APBD bisa menyelesaikan ruang problematika pendidikan? Tentunya kita
bisa melihat fakta yang terjadi di lapangan. Sangat disayangkan dengan
pengalokasiaan dana tersebut masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan.
Tentunya dengan adanya sebuah konsolidasi nasional, minimal ada langkah
strategis untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini. Sehingga upaya pencerdasan
lewat pendidikan bisa menjadi pencerah sesuai amanah undang-undang. Beberapa
pekerjaan rumah. Pertama, pendistribusiaan guru secara merata. Kita ketahui
bahwa letak geografis Indonesia yang berbasis kepulauan bisa menjadi sebuah
tantangan besar bagi dunia pendidikan. Padahal, guru sebagai aktor keberhasilan
peningkatan mutu pendidikan. Guru merupakan sumber kebangkitan. Pencerah dalam
kegelapan. Pengejuk dalam dahaga. Miris hati, ketika kita melihat ada sebuah
sekolah yang berjumlah 300-an siswa dikelola oleh satu PNS. Sementara tenaga
pengajar honor plus lulusan SMA atau SMP semata. Bahkan ada guru yang
menjalankan amanah profesi tidak sesuai dengan kualifikasi keilmuannya. Itulah
salah satu potret guru di pedalaman Maluku. Dilain sisi, pemerintah ingin
ngotot dengan segala aturannya. Tentunya hal tersebut senada berkaitan dengan kemanakah nasib para honorer
K2 atau sejenisnya yang telah ikhlas mengabdi? Kemanakah perhatian pemerintah
dalam memberikan kesejahteraan bagi para pahlawan tanpa tanda jasa sesuai UU guru
dan dosen nomor 14 tahun 2005
dan isinergikan dengan UU 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan. Kedua, desentralisasi
pendidikan. Dengan adanya UU Otonomisasi Daerah nomor 23 tahun
2014, sebenarnya pun telah menjadikan tolak ukur keberhasilan dunia pendidikan.
Dimana, adanya perubahan sistem sentralisasi ke desentralisasi. Hal tersebut pun
berpengaruh pada arah pengembangan pendidikan ke depan. Dalam hal ini, lembaga
pendidikan diberikan kewenangan penuh untuk mengelola manajemen secara
mandiri. Sehingga dilahirkannya suatu konsep yakni manajemen mutu berbasis
sekolah. Ada tiga pilar penyokong sistem manajemen tersebut, yakni manejemen
sekolah, PAIKEM dan peran masyarakat. Tentunya tiga pilar inilah yang menjadi
fondasi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, sifat desentralisasi sudah
terkonsep sampai pada unit terkecil lembaga pendidikan, sekolah. Namun, ketiga
pilar tersebut terhambat oleh segala kebijakan pemerintah yang sering
berubah-ubah akibat dari sebuah drama politik pendidikan. “Jika pendidikan
disusupi kepentingan politik, maka tunggulah kehancuran sumber daya manusia Indonesia
masa depan.” Politik pendidikan itu kemudian melahirkan kurikulum yang sering berganti. Ganti menteri,
ganti kurikulum, kewenangan kepala daerah yang menjadikan tenaga pengajar
sebagai abdi politik setianya, dan kesalahan paradigma masyarakat terkait
kampanye pendidikan gratis. Ketiga, sumber pembiayaan pendidikan. Sebagaimana
kita ketahui bahwa sumber-sumber pembiayaan pendidikan adanya dari APBN/APBD.
Tapi ternyata pengalokasiaan dana tersebut tidaklah bisa menjawab kerumitan
pendidikan di negeri ini. Sehingga, jangan heran lembaga sekolah dalam proses
penyelenggaraan pendidikan membuka diri untuk bekerjama dengan pihak swasta
ataupun melakukan aksi gotong-royong untuk pembiayaan pendidikan. Itu artinya,
dengan anggaran yang serba terbatas ini, lembaga sekolah harus mampu melakukan
transaksi halal untuk pengembangan mutu pendidikan. Lalu disisi lain,
pemerintah belum bisa menjamin. Padahal sekali lagi, Dalam UU Nomor 20/2003 tentang
sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga
negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Untuk mengejar ketertinggalan
dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan
dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sesuai dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran pendidikan adalah
alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian
negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah,
termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan,
untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab
pemerintah. Sedangkan pengalokasian anggaran
pendidikan meliputi alokasi yang melalui belanja pemerintah pusat dan melalui
transfer ke daerah. Sementara untuk yang melalui anggaran pendidikan melalui
transfer ke daerah adalah DBH Pendidikan, DAK Pendidikan, DAU Pendidikan, Dana
Tambahan DAU, dan Dana Otonomi Khusus Pendidikan. Coba kita
bandingkan dengan Korea Selatan, bahwa Anggaran pendidikan Korea Selatan
berasal dari anggaran Negara, dengan total anggaran 18,9% dari Anggaran Negara.
Pada tahun 1995 ada kebijakan wajib belajar 9 tahun, sehingga porsi anggaran
terbesar diperuntukan untuk ini, adapun sumber biaya pendidikan, bersumber
dari: GNP untuk pendidikan, pajak pendidikan, keuangan pendidikan daerah, dunia
industri khusus bagi pendidikan kejuruan. Dari sisi
pengalokasiaan, tidak terlihat perbedaan yang begitu mencolok antara
pendidikan di Korea Selatan dan Indonesia, namun mengapa Indonesia sangat jauh
tertinggal dengan Korea Selatan ? Padahal kedua Negara ini merdeka pada waktu
yang hampir berdekatan. Namun Indonesia
sampai saat sekarang ini masih belum mampu “berbenah diri” untuk menjadi Negara
yang lebih maju. Mungkin hal itu kembali lagi ke pola pikir peemrintah
dan masyarakat yang masih belum berubah dan mental bangsa yang masih lemah.
New Spirit Pendidikan Nasional
Pendidikan harus menjadi pengukur anak bangsa,
menjadi suatu lentera yang tetap dikembangkannya secara terus menerus dalam melewati setiap
fase pendidikan. Pendidikan wajib belajar 12 tahun harus benar
diimplementasikan. Kurikulum ditekankan pada kemampuan peserta didik dalam berinovasi,
mahir dan cakap dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan. Bukan hanya teori yang dipahami,
namun praktek dan karya yang luar biasa harus dihasilkan oleh anak bangsa. Sebagai
pembentuk karakter bangsa dan sikap.
Sehingga melahirkan peserta didik yang punya daya unggul dan jiwa kompetitif. Output
karakter peserta didik seperti yang disampaikan Buya Hamka: “ Iman tanpa ilmu
bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di
tangan pencuri”, itulah yang diharapkan.
Olehnya itu, perlu adanya sikap yang jelas, konstruktif dan baru yang
terkonsolidasikan secara struktural dan terkawal lewat agenda rapat kerja nasional
ini. Yakni sebuah rumusan baru dunia pendidikan; pendidikan berbasis gugus
pulau. Sebagaimana tupoksi dari PGRI itu melaksanakan dan mengembangkan
sistem pendidikan nasional, mempersatukan semua guru dan
tenaga kependidikan di semua jenis, jenjang dan kesatuan pendidikan dan peran serta di dalam pembangunan nasional, memelihara, membina dan
mengembangkan kebudayaan nasional serta memelihara kebudayaan daerah
dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional dan lebih
terpenting adalah melakukan pengawasan sosial dan fungsional atas
pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Tentunya membangun
spirit tersebut tidaklah mudah membalikkan telapak tangan. Tetapi, hal tersebut
bisa dengan mudah dijawab bilamana semua stakeholder sebagai penanggung
jawab dalam pendidikan memenuhi tiga
syarat yakni, punya profesionalisme yang komprehensif, soliditas dan komitmen
yang terjaga serta mempunyai pikiran yang sama, equality of mindset.
*M. Nasir Pariusamahu
Mahasiswa Pasca Sarjana Unpatti,
Program Studi Manajemen Pendidikan
Komentar
Posting Komentar