Semenjak mereka
ditakdirkan Tuhan, lewat perhelatan pesta demokrasi dan tangan-tangan segala
lapis masyarakat. Masyarakat mempunyai harapan luas yang akan perubahan.
Perubahan konstruktif. Perubahan penataan dan citra publik. Sebab, dirasa
selama ini, publik kurang merasa diperlakukan secara adil dan merata. Juga
penataan tata ruang yang terkesan kumuh. Sehingga pun, segala janji kampanye
mereka dengan mudah memperdaya masyarakat di kota kecil ini, Ambon. Luasnya
Ambon tidaklah seberapa pulau-pulau yang ada di Indonesia, namun Ambon
mempunyai peran besar dan ganda sebagai
capital
city of Maluku, sehingga siapa yang menjadi pucuk pimpinan disini, dipastikan
akan secara alamiah karir politiknya melangit. Begitu kata orang. Ambon sebagai
kota sentral, tentunya butuh pemimpin yang bisa menjadi tuan rumah yang baik,
atau kakak sulung bagi daerah kabupaten/kota di Maluku maupun di Indonesia. Nah,
olehnya itu, model kepemimpinan yang bernafas humanis dan visionerlah yang ke
depan bisa masyarakat teluk ini menaruh sandaran bahu, dan harapan itulah ada
pada PAPARISA .
Sedemikian rupa janji
kampanye mereka digaunkan. Saya masih ingat, wajah kharismatik mereka ketika
mendeklarasikan diri dan memilih akronim PAPARISA (Ricard Louhenapessy dan Sam
Latuconsina); pasangan urut 3, sebagai bentuk wujud rumah besar bagi
kesejahteraan dan kedamaian. Itulah sebagaimana yang diharapakan oleh
masyarakat. Maka tak gentar, 60.688 jiwa rela memperjuangkan mereka lewat satu
tusukan di bilik-bilik suara kala itu. Itulah suara murni yang menghantarkan
mereka menjadi pemenang dalam pertarungan sengit tersebut. Yang kemudian
ditetapkan secara hukum lewat SK KPUD Kota Ambon nomor 22 tahun 2011 tentang
penetapan pasangan calon terpilih dalam pemilihan umum walikota dan wakil
walikota Ambon periode 2011-2016. Bahkan
hanya sekali putaran.
Perjalanan dalam
memprosesisasi PAPARISA menjadi walikota dan wakil walikota merupakan kemauan
rakyat dan takdir Tuhan. Kita biasa memahami makna demokrasi yang penuh intrik
dan segala propaganda. Namun, angin taufan demokrasi tak goyahkan atap-atap
PAPARISA. Sebab, rumah tersebut telah diperkuat oleh pilar-pilar yang kuat,
emosi dan cinta rakyat. Lalu, ketika mereka menjadi mandataris kota berpenduduk
395.423 jiwa ini, menjalani amanah rakyat, eh tiba dipersimpangan jalan,
atapnya mulai bocor, bukan oleh angin taufan seperti dulu, tetapi hanya angin
sepoi. Angin sepoi yang bisa saja menghapus “kelanjutan” nama besar PAPARISA di
tengah berbagai prestasi yang telah mereka torehkan pada akhir-akhir periode.
Segala pertanyaan
kian dipertanyakan. Sehingga kadang masyarakat menjadi antipati. Jawaban atas
pertanyaan itu sebenarnya hanya bisa memberikan kesan bertepuk sebelah tangan.
Padahal, masyarakat sangat ingin tentunya PAPARISA ini menjadi rumah teduh
untuk yang kedua kalinya. Namun, sangatlah ironi. Jika, amanah bukan lagi
dipandang sebagai neraca nurani rakyat. Tapi, amanah merupakan dagelan politik.
Sehingga amanah itu sering tak berkorelasi dengan janji-janji. Amanah akan
mengikuti kemauan politik. Amanah dipandang sebagai hal yang tidak agung lagi. Padahal,
Secara lughawi, kata "amanah" artinya dipercaya atau terpercaya.
Adapun menurut istilah, amanat adalah segala hal yang dipertanggungjawabkan
kepada seseorang, baik hak-hak itu milik Tuhan maupun hak hamba, baik yang
berupa benda, pekerjaan, perkataan, ataupun kepercayaan hati. Bila dilihat dari
aspek agama, maka apabila kita
diserahi suatu amanah, maka amanat itu wajib kita pelihara, kita laksanakan,
kita layani, baik amanah itu berupa harta, kehormatan, wasiat maupun lainnya. Apalagi
jabatan yang tinggi merupakan bentuk amanah yang harus dijaga.
Pada akhirnya,
makna PAPARISA mulai pudar. Kepudarannya mempengaruhi masa depan kota tercinta,
Ambon Manise. Kerinduan akan ketuntasan janji kepada masyarakat tempo lalu
haruslah dimaknai sebagai acuan untuk berpikir dan bertindak. Berpikir dan
bertindak sesuai janji setia bersama, menuntaskan harapan rakyat, agar rakyat
merasa ada pelindungnya dan mungkin bisa menjadi satu-satunya pelindung
terbaik. Mungkin saja. Disatu sisi masih banyak hal yang harus diselesaikan. Memang,
intrik politik mengalahkan pakta nurani. Pakta nurani yang telah dibangun oleh
airmata dan kepercayaan. Bukan salahnya juga, PAPARISA harus “roboh” sebab itu
mungkin takdirnya untuk periode ini. Tetapi, sebelum roboh bisakah perbaiki
bocoran-bocoran di atap, agar hujan tak membasahi airmata atau coretan-coretan
di dinding, agar dinding tetap putih dan tak ternoda, dan vaksinansi rayap-rayap
di pilar-pilarnya, agar pilar-pilarnya tetap kokoh.
Juga kiranya,
PAPARISA bisa membaca tulisan metafora ini dengan bijaksana. Kami adalah
rakyatmu. Kami rela menderita di pasar apung atau rela bermain ombak di teluk
Ambon, sebab kami tau PAPARISA akan membuat nyaman dan bestari negeri ini. Kami
tau, masih banyak agenda yang belum dituntaskan bersama. Kami ingin bersamamu. Selama
di mana bumi dipijak, di sana langit
dijunjung. Tapi, kenyataannya badai teluk sangatlah kuat, dan gunung
nona masih terlalu tinggi untuk didaki.
Oleh M. Nasir Pariusamahu_Ketua KAMMI Daerah
Ambon
Komentar
Posting Komentar