Asap yang mengumpal dari Sabang hingga Merauke telah
menjadi sebuah peristiwa yang sangat fenomenal tahun ini. Hutan-hutan di
Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia kini berubah menjadi tanah
kering, tak berumput. Bekas-bekas kobaran si jago merah terlihat di segala
sudut hutan. Hutan-hutan rimba yang dulunya terlihat seram dalam tempo sejam
berubah menjadi lapangan luas yang panas dan berdebu. Entah siapa pelakunya? Sebab
hingga kini upaya lembaga hukum pun terlihat mandul dalam mendalami siapa di
balik semua ini? Sementara akibat kebakaran itu, muncullah gumpalan kabut-kabut
yang siap menghantui masyarakat, dengan penyakit ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Akut) sebagai pelaku utama.
Kita tau sendiri, efek ISPA jika telah menyerang tubuh manusia akan
menyebabkan infeksi saluran pernapasan, walaupun hanya bersifat ringan seperti
batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian jika
tidak dicegah maupun diobati maka akan mengakibatkan kematian. Lewat Antara
News, data Dinas Kesehatan Provinsi Riau
mencatat periode 29 Juni- 27 September
2015, korban terpapar resiko asap di daerah itu sebanyak 44.871 orang. Belum
lagi dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan
mencapai lebih dari Rp. 200 Trilliun, melebihi biaya pilkada serentak, 9
Desember 2015 (Rp 6,7 T) dan Pilpres 2014 (Rp 9,1 T) fantastik bukan?
Di segala kota, pemerintah terkesan lambat. Hingga para
pemerhati pun turun tangan dengan segala upaya. Di tengah keterbatasan para
relawan yang tak digaji, rasa niat ikhlas peduli mereka begitu besar untuk
menyelamatkan nyawa generasi dari asap yang bergentayangan ini. Malahan sangat
aneh ada aturan yang melegalkan pembakaran hutan oleh pemerintah. Wah…luar
biasa. Di tambah dengan musim kemarau yang melanda, kabut asap bebas terbawa angin
dan bersatu dengan debu-debu, hingga masker yang dijadikan perisai tak mempan
untuk melindungi.
Sementara itu, pemerintah tersadera dengan berbagai
kasus yang akan membawa efek buruk bagi masa depan Negara ini. Bahasa sederhana
bagi pemerintah sekarang adalah Homo
Homini Lupus, saling memakan satu sama lain. Pemerintah sibuk
ngurusin soal bagi-bagi kue jabatan. Saling menjatuhkan satu sama lain. Rakyat dibuat
bingung dengan rekayasa-rekayasa. Media A dan Media B pun tak akur dalam
memberikan pendidikan sehat kepada publik. Demikian rumitnya Negara ini
sehingga antara hak dan kewajiban pun menjadi bias dikalangan pejabat. Lalu dimana
letak peran pemerintah dalam mengelola sumber daya alam sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-undang
Dasar 1945. Pasal ini mencadi acuan dasar bagi pemerintah Indonesia untuk menjalankan
kewajibannya. Namun, bagaimana mau mengelola dengan baik untuk kemakmuran
rakyat, jika dibiarkan dikuras, dibakar.
Disatu sisi, pemerintah lewat koalisi ingin
mempertahankan kedaulatannya sebagai penguasa, kini mulai terpongah-pongah oleh
serangan oposisi. Ketidakseimbangan pemerintahan antara legislatif yang
dikuasai oleh oposisi membuat eksekutif harus bekerja ekstra. Memang dendam politik
pilpres 2014 seakan masih bertarung walau media sengaja memoles dan
mengaburkan. Bentuk konkritnya adalah ketika PAN mulai masuk merengsek ke dalam
pemerintahan, dan hasil reshuffle yang jauh dari harapan masyarakat. Juga
ketok palu
APBN 2016 yang tertunda.
Kemudian sang raja mulai kebingunan mencari dukungan. Partai-partai
pendukungnya mulai dipermainkan oleh KPK. Mahapatih Saling menyerang. KPK sudah
hilang kendali sang raja. Sang raja pun mengundi nasib ke Negara-negara
adikuasa. Cina dan Amerika menjadi top Negara yang akan menjadi mitra terkuat. Tapi
kemudian tawar-menawar pun menjadi alat kekuatan untuk hal tersebut. Tentunya sumber
daya alam Indonesialah yang menjadi tumbal, jika sang raja salah mengajukan
persyaratan.
Masyarakat pun terlihat dibodohi. Adu drama politik
seakan membuat lubang baru untuk merongrong, dan pada akhirnya akan membawa
malapetaka oleh tangan kita sendiri. Entah itu apa, tapi yang kini nian terjadi
adalah kabut asap.
Komentar
Posting Komentar