soal 2

Membaca Demokrasi Seram Bagian Timur


Beberapa kabupaten di Maluku sedang mempersiapkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seperti Maluku Barat Daya,  Kepulauan Aru, Seram Bagian Timur, Buru Selatan. Ini sebagai bentuk dalam proses pergantian kepemimpinan di daerah itu. Telah kita ketahui, Pilkada kali ini diikuti  269 daerah yang mengadakan pilkada serentak 2015, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Maluku mendapatkan jatah di ke empat kabupaten yang telah disebutkan di atas. Dari ke empat daerah yang mengikuti Pilkada serentak di Maluku, Kabupaten Seram Bagian Timur terlihat mempunyai “keistimewaan” tersendiri dibanding daerah lain. Berbagai media harian di Maluku, lebih menyoroti kabupaten yang berada di Timur Pulau Seram ini.
Kiranya ada beberapa faktor yang  mempengaruhi ketonjolan kabupaten yang berjulukan Ita Wotu Nusa. Faktor yang pertama, euporia politik di daerah ini telah menjadi makanan harian. Keterlibatan masyarakat kalangan bawah sangat signifikan. Penulis merasakan sendiri ketika mengunjungi daerah yang dimekarkan tahun 2003 lalu dengan mengantongi dasar pendirian UU Nomor 40 Tahun 2003.  Perhatikan saja, jumlah partisipasi masyarakat dalam pemilihan gubernur Maluku tahun lalu, hampir mendekati 100%. Teori Partisipasi masyarakat dalam demokrasi sangat menentukan keberlangsungan demokrasi, apalagi dengan lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004, maka undang-undang tersebut telah memberikan hak politik rakyat untuk memilih Gubernur dan Bupati/ Walikotanya secara langsung. Dengan demikian hak politik masyarakat untuk melakukan partisipasi politik secara konvensional terbuka lebar. Partisipasi politik yang merupakan wujud pengejawantahan kedaulatan rakyat adalah suatu hal yang sangat fundamental dalam proses demokrasi. Ia memiliki makna yang sangat penting dalam bergeraknya roda dan sistem demokrasi. Apabila masyarakat, memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, maka proses pembangunan politik akan berjalan dengan baik, sehingga akan sangat berarti pula terhadap perkembangan bangsa dan negara ini. Sebaliknya partisipasi politik juga tidak akan bermakna apa-apa dan tidak berarti sama sekali kalau ia tidak memenuhi syarat dari segi kualitatif maupun kuantitif.
Oleh karenanya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah merupakan hal yang sangat penting pula untuk ditilik, karena rendah atau tingginya suatu partisipasi merupakan sinyal dan indikator penting terhadap jalannya proses demokasi dan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat. Menurut (Budiardjo, 2009) “Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, ‘public policy’. Secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti: memberikan suara dalam pemilihan umum, ‘voting’; menghadiri rapat umum, ‘campaign’; menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan; mengadakan pendekatan  atau hubungan, ‘contacting’ dengan pejabat pemerintah, atau anggota parlemen dan sebagainya”.
Faktor kedua, dilihat dari komposisi sosial budaya, Hasil assesmen diketahui jumlah penduduk SBT tahun 2006 adalah 117.133 jiwa. Golongan terbesar pada penduduk berusia 21-30 tahun. Kemudian, penduduk dalam golongan usia 31 – 40 tahun sebanyak 27.377 jiwa. Kedua kategori usia ini adalah usia produktif yang secara kuantitatif berjumlah 56.272 jiwa dari total penduduk yang ada di Kab. SBT (https://id.wikipedia.org) Faktor keproduktifan usia-usia tersebut merupakan langkah awal untuk mempersiapkan Bonus Demografis. Sebab, Indonesia diprediksi akan mendapat bonus tersebut di tahun 2020-2030, dimana penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Hingga tidak heran, pengalaman penulis dalam mengobservasi, keterlibatan kaum produktif ini menjadi “otak” dalam setiap perubahan, terkhusus kebangkitan demokrasi di Seram Bagian Timur.
Desembar, hanya beberapa bulan lagi. Segala tahapan Pilkada di daerah dengan akronim SBT sudah dilalui. Setelah pendaftaran, seleksi administrasi, dan penetapan, kini aroma kemenangan mulai dikumandangkan oleh dua kandidat yang telah lolos untuk bertarung. Yakni Mukti Keliobas- Fahri Husni Alkatiri (Mufakat) dan Siti Umuriyah Suruwaky- Syaifudin Goo  (Sus-Goo) Selain kedua faktor yang disebutkan, Pilkada SBT kali ini boleh dikatakan sangatlah istimewa dan punya tempat di Demokrasi Maluku. Dengan adanya sistem  head to head , diharapkan peta konflik bisa direda dan akan meminimkan anggaran. Sehingga yang diperlukan adalah kestabilan demokrasi.
Kedua pasangan ini mempunyai peluang yang sama. Tapi dalam setiap pertandingan Tinju ada juga yang kalah. Malahan sehebat Manny Pacquiao kalah dengan Mayweather. Artinya, ada penetapan sunatullah dalam setiap hidup manusia. Yang harus dibenarkan adalah ketika potensi kalah itu datang, maka yang kalah harus siap lapang dada. Dan sedia berkontribusi. Pembacaan ini dimaksudkan guna sedini mungkin kita bisa mengantisipasi ledakan kekalahan dan mempunyai prediksi yang rasional dan objektif terhadap  pasangan mana yang mempunyai kesempatan memimpin 104.902 jiwa untuk  lima tahun ke depan.
Pertama, latar belakang tokoh. Pasangan Mufakat dengan nomor urut 1 mempunyai latar belakang komprehensif. Mukti dengan latar belakang tokoh adat, sementara Fahri dengan latar belakang tokoh agama. Keduanya pun merupakan tokoh politik yang mempunyai kesamaan balada sebagai wakil rakyat. Ini merupakan perpaduan budaya dan sosial yang sangat indah. Mengingat SBT merupakan daerah kultur budaya yang sangat kuat dan religius. Keberhasilan Mufakat dalam meraih simpati masyarakat SBT dalam Pileg kemarin merupakan suatu kepercayaan yang sangat objektif oleh masyarakat untuk menepatkan keduanya sebagai tokoh masa depan SBT. Artinya ada pengharapan khusus dari masyarakat terhadap kedua tokoh ini. Sementara Sus-Goo dengan nomor urut 2 pun memiliki peluang yang sama. Siti dengan pengalamannya dalam dunia pemerintahan sebagai wakil bupati dua periode bukanlah hal instan. Sebagai incumbent, kematangan Siti dalam mengelola daerah dengan lima belas kecamatan dan kepulauan ini bersama Bupati sebelumnya perlu menjadi acungan jempol. Pastinya 10 tahun sebagai masa kerja, Siti akan menjadikan hal sebagai prospek jangka panjangnya. Pun dengan pasangannya, Goo yang juga mempunyai kapasitas sebagai birokrat. Dalam masanya sebagai Kepala Dinas Pertambangan Energi dan Sumberdaya Miniral SBT.   Pada intinya, apapun latar belakang kedua pasangan calon, hal yang terpenting yang harus di ingat adalah bagaimana membangun konsolidasi yang matang ketika tanpa jabatan kini?
Kedua, basis massa.  Untuk  Mufakat berpeluang menang di daerah-daerah  basis pemilih tradisional  yakni Gorom, Gorom Timur, Wakate, Kelimuri, Kian Darat, Tutuk Tolo. Daerah basis tradisional mempunyai jumlah pemilih diatas 20 ribu pemilih. Hal ini akan menjadi kekuatan utama untuk meraup kemenangan. Sus-Goo berpeluang di Seram Timur, Kota Bula sebagai daerah dengan jumlah pemilih kedua terbesar. Walaupun Mukti dan Siti berasal dari daerah yang sama tapi kekuatan kharismatik Mukti lebih besar sebagai Raja  daripada Siti. Sementara Werinama yang digadang –gadang sebagai basis Fahri akan terusik dengan kehadiran Vanath sebagai Bupati SBT yang turut mendukung pasangan nomor urut 2. Sehingga yang perlu dimaksimalkan adalah sikap kreatif kedua tim untuk menyakinkan masyarakat  tradisional ataupun rasional yang berada di tiap daerah basis untuk memilih mereka. Tentunya faktor visi-misi dan program kerja bukan menjadi hal utama dalam menarik pemilih. Kedekatan hati dengan pemilihlah yang akan menjadi indikator utama kemenangan. Money politik, jalur PNS/ ASN, apapun permainan di dalam kompetisi ini takkan berarti apapun jika semua sadar siapa yang pantas. Pertanyaan besar adalah bagaimana jurus kreatif masing-masing tim untuk menerobos daerah basis masing-masing kandidat? Dan “mencuri” suara di kandang lawan.
Ketika, basis kekuatan politik. Indonesia termasuk menganut paham Trias Politika.  Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.  Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Domain paham ini pun harus dipahami sungguh oleh setiap pemimpin yang memimpin lembaga-lembaga tersebut agar terjadi balance dan dapat mewujudkan good of government. Pada hal ini, penulis hanya mengaitkan hubungan Legislatif dan Eksekutif. Sebab, kewenangan Yudikatif pada dasarnya akan berpulang pada kekuatan Legislatif dan Eksekutif.
Mufakat mempunyai kekuatan basis legislator sebanyak delapan  kursi di DPRD SBT  dengan rinciaan  PKS (2 kursi), Gerindra (3 kursi), Demokrat(3 kursi), Sus-Goo sebanyak dua belas  legislator yakni PDI-P (2 kursi), Hanura (3 kursi), PKPI (3 kursi), PKB (2 kursi), Nasdem (2 kursi) sementara Golkar dan PPP hanya bisa membisu dalam event ini. Dengan jumlah yang ada,  pasangan Sus-Goo mempunyai basis kekuatan politik yang kuat. Kiranya Mufakat mempunyai andil besar dalam meraup suara Golkar (3 kursi) di dewan, mengingat Mukti adalah Ketua Golkar SBT. Sehingga dapat menyeimbangkan. Sementara PPP (2 kursi) akan lebih sadar menjadi partai yang siap mendukung pasangan yang menang nantinya. Artinya PPP lebih adem dalam percaturan ini juga hanya bisa melongo. Namun, kekuatan Mukti sebagai ketua DPRD barangkali bisa menjadikan PPP mitra.
Kekuatan kedua lembaga legislatif dan eksekutif sangatlah menentukan iklim politik terhadap proses demokrasi ke depan. Mandulnya hubungan keduanya menyebabkan kerusakan sistem. Lihatlah permainan tingkat tinggi pemerintahan sekarang. Legislatif dengan KMP-KIH dan eksekutif yang berperan tunggal. Kita tentunya tidak mengingkan semua ini mis dan menyebabkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat ke depan, menjadi tulisan-tulisan bak buku dongeng. Sadar atau tidak, perhelatan ini akan mengguras energi. Sebab, perhelatan ini dikabarkan  ada campur tangan dari struktur partai maupun pengambil kebijakan di daerah hingga ke pusat. Sehingga diminta kepada para elit tersebut jangan menjadikan masyarakat sebagai tumbal, seperti kasus-kasus yang terjadi dalam setiap pesta lima tahun ini.




Oleh M. Nasir Pariusamahu
Ketua KAMMI Kota Ambon

Komentar