Merebut Kota Peradaban
Sejauh
ini kita menginginkan sebuah perubahan. Saya kira semua orang butuh perubahan.
Namun menuju perubahan itu bukanlah semudah membalik telapak tangan. Butuh
waktu. Butuh kesabaran. Butuh kekuatan untuk saling menguatkan. Kadang saya
ingin menulis khayalan saya tentang “ Indonesia Masa Depan”. Indonesia yang
rakyatnya damai, aman, sentosa. Indonesia tanpa diksriminasi. Indonesia yang
menghargai perbedaan dan toleransi seperti dalam undang-undang yang dibuat.
Tapi, sementara saya ingin menulisnya sebagai fakta kemajuan. Saya merasa risih
akan perbedaan jamuan zaman yang membuat saya terpaku dan kadang merasa
pesimis. Tapi, sekali lagi, daya kuat pegangan untuk memajukan bangsa besar ini
terus terikat sampai daya khayal itu bisa terwujud. Entah satu tahun, lepas
lima tahun, sewindu, ataupun seabad. Itu menjadi khayalku hingga saya tertimbun
tanah di bawah nisan.
Betapa
tidak. Sebagai anak bangsa. Kita perlu merasakan segala tabiat zaman yang penuh
angkuh hari ini. Perbudakan rasa terjadi di segala sektor. Cerita-ceritanya
bagaikan dalam novel yang fiktif itu. Seperti novelnya: Negeri di ujung tanduk
karya Tere Liye. Indah benar cerita-cerita para pujangga yang melukiskan
keadaan bangsa ini. Di samping keindahan dan pesona muncullah segala intrik
antara kekuasaan dan popularitas. Padahal, ketika kita melihat tentang sekilas
kisah heroik-heroik para pahlawan yang telah merelakan jiwa raga untuk
“membebaskan” bangsa ini dari para penjajah. Maka kita akan menangis
tersedu-sedu dan pasti ingin menjadi sosok itu. Sebab bangsa ini telah banyak banyak merelakan airmata rakyatnya
yang tumpah di tanahnya. Sebab, para pemimpinnya yang mudah saja menjadi
boneka. Majapahit yang begitu masyhur dengan kekuatan Gajah Madahnya telah
menjadi cerita-cerita zaman dahulu kala tentang sikap patriotisme dalam
mempertahankan wilayah dan harga diri sebagai bangsa. Ataupun kita bisa
menyaksikan pejuang-pejuang Cuk Nyak Dien, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Pattimura. Lalu sejarah itu dilanjutkan dengan kegagahan para
pemuda 1908, 1928 hingga 1998. Batas itu
saja.
Namun, setelah itu nafas-nafas perjuangan
itu semakin pudar. Benar adanya kata Bung Karno: “ Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi
perjuanganmu akan lebih sulit karena meawan bangsamu sendiri”. Kita mesti
mengingat, bahwa bangsa ini besar adanya. Segala kekayaan alam dari perut
buminya sangatlah fantastik sehingga tidak heran bangsa-bangsa barat dan eropa
hingga kini masih menancapkan imperialismenya. Sebutlah Freeport yang kapan
dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi? Padahal tugas pemimpin dan pemerintah
adalah mengayomi dan memberi kesejateraan bagi rakyatnya. Bukan menunggu aksi
solusi dan upeti rakyatnya, sambil mengatakan: “ ini tugas kita bersama”. Saya
tidak akan mengungkapkan tentang fakta-fakta kekayaan itu pada isi tulisan ini.
Karena anda pasti sudah merasakannya. Tapi mungkin belum anda memilikinya.
Olehnya itu, menjadi pelaku untuk menjadikan kekayaan bangsa ini tidak masuk
“kantong” bangsa lain itu adalah hal yang mutlak. Perlu kiranya kita harus tau,
bahwa kita dilahirkan di tanah ini; Indonesia. Merah putih itu darah dan
tulangku. Garuda adalah kekuatanku. Ingatlah kita pada kisah serangan umum 1
Maret 1949? Yang mengguncang PBB dan Belanda saat itu? Nah, hari ini keadaan
kita masih sama. Seperti kata Bung Karno diatas.
Pengakuan kita sebagai anak bangsa ini tidaklah cukup. Tidak
cukup dengan menyanyikan Indonesia Raya. Tidaklah cukup dengan memegahkan
gedung-gedung pencakar langit ataupun meratakan gunung-gunung untuk mengambil
emas. Jika kekayaan negeri ini tak bisa
dipertanggung jawabkan. Indonesia juga diramalkan menjadi sebuah Negara yang
besar dan adidaya di masa akan datang. Seperti yang terungkap dalam Peta Atlantis
menurut Arysio
Nunes dos Santos dalam
bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found terletak di Indonesia.
Kita mesti juga mengambil hikmah dari
sebuah penerimaan masyarakat terhadap
bahasa. Antara bahasa Arab dan Inggris. Uraian sederhana adalah, kenapa
kedua bahasa tersebut mengalahkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan
internasional? Padahal jika kita membandingkan luasnya Negara-negara Arab
bahkan digabungkan dengan Negara Inggris belumlah mengalahkan luasnya Negara
Indonesia. Lalu apa yang berbeda?
Bangsa yang besar merupakan bangsa yang
menghargai sejarah. Sejarah propaganda penjajah senantiasa akan menancapkan
kukunya. Perhatian serius mesti menjadikan kita sadar bahwa “perang” terhadap
penjajah akan selalu ada. Walaupun tidak secara fisik dan senjata. Tapi lebih
apik sekarang, dengan ekonomi, budaya, pendidikan dan segala misi-misinya.
Kini, kerja keras kita harus difokuskan
untuk mentransformasikan Indonesia menjadi sebuah entitas peradaban, sehingga
Indonesia bisa menjadi sebuah arus kekuatan utama, yang serta merta diharapkan
menjadi penata dalam mengatasi segala
permasalahan umat di dunia ini. Maka, bila semua doa kita panjatkan pada
langit, sebutlah doa ini: “ Ya Tuhan, tidaklah ku minta rumah yang besar, istri
cantik dan anak yang lucu. Tetapi, aku minta Negara dan penduduknya ini taat
beragama.”
Komentar
Posting Komentar