soal 2

Merebut Kota Peradaban



Merebut Kota Peradaban

Sejauh ini kita menginginkan sebuah perubahan. Saya kira semua orang butuh perubahan. Namun menuju perubahan itu bukanlah semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu. Butuh kesabaran. Butuh kekuatan untuk saling menguatkan. Kadang saya ingin menulis khayalan saya tentang “ Indonesia Masa Depan”. Indonesia yang rakyatnya damai, aman, sentosa. Indonesia tanpa diksriminasi. Indonesia yang menghargai perbedaan dan toleransi seperti dalam undang-undang yang dibuat. Tapi, sementara saya ingin menulisnya sebagai fakta kemajuan. Saya merasa risih akan perbedaan jamuan zaman yang membuat saya terpaku dan kadang merasa pesimis. Tapi, sekali lagi, daya kuat pegangan untuk memajukan bangsa besar ini terus terikat sampai daya khayal itu bisa terwujud. Entah satu tahun, lepas lima tahun, sewindu, ataupun seabad. Itu menjadi khayalku hingga saya tertimbun tanah di bawah nisan.
Betapa tidak. Sebagai anak bangsa. Kita perlu merasakan segala tabiat zaman yang penuh angkuh hari ini. Perbudakan rasa terjadi di segala sektor. Cerita-ceritanya bagaikan dalam novel yang fiktif itu. Seperti novelnya: Negeri di ujung tanduk karya Tere Liye. Indah benar cerita-cerita para pujangga yang melukiskan keadaan bangsa ini. Di samping keindahan dan pesona muncullah segala intrik antara kekuasaan dan popularitas. Padahal, ketika kita melihat tentang sekilas kisah heroik-heroik para pahlawan yang telah merelakan jiwa raga untuk “membebaskan” bangsa ini dari para penjajah. Maka kita akan menangis tersedu-sedu dan pasti ingin menjadi sosok itu. Sebab bangsa ini telah  banyak banyak merelakan airmata rakyatnya yang tumpah di tanahnya. Sebab, para pemimpinnya yang mudah saja menjadi boneka. Majapahit yang begitu masyhur dengan kekuatan Gajah Madahnya telah menjadi cerita-cerita zaman dahulu kala tentang sikap patriotisme dalam mempertahankan wilayah dan harga diri sebagai bangsa. Ataupun kita bisa menyaksikan pejuang-pejuang Cuk Nyak Dien, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pattimura. Lalu sejarah itu dilanjutkan dengan kegagahan para pemuda 1908, 1928  hingga 1998. Batas itu saja.
Namun, setelah itu nafas-nafas perjuangan itu semakin pudar. Benar adanya kata Bung Karno: “ Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena meawan bangsamu sendiri”. Kita mesti mengingat, bahwa bangsa ini besar adanya. Segala kekayaan alam dari perut buminya sangatlah fantastik sehingga tidak heran bangsa-bangsa barat dan eropa hingga kini masih menancapkan imperialismenya. Sebutlah Freeport yang kapan dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi? Padahal tugas pemimpin dan pemerintah adalah mengayomi dan memberi kesejateraan bagi rakyatnya. Bukan menunggu aksi solusi dan upeti rakyatnya, sambil mengatakan: “ ini tugas kita bersama”. Saya tidak akan mengungkapkan tentang fakta-fakta kekayaan itu pada isi tulisan ini. Karena anda pasti sudah merasakannya. Tapi mungkin belum anda memilikinya. Olehnya itu, menjadi pelaku untuk menjadikan kekayaan bangsa ini tidak masuk “kantong” bangsa lain itu adalah hal yang mutlak. Perlu kiranya kita harus tau, bahwa kita dilahirkan di tanah ini; Indonesia. Merah putih itu darah dan tulangku. Garuda adalah kekuatanku. Ingatlah kita pada kisah serangan umum 1 Maret 1949? Yang mengguncang PBB dan Belanda saat itu? Nah, hari ini keadaan kita masih sama. Seperti kata Bung Karno diatas.
Pengakuan kita sebagai anak bangsa ini tidaklah cukup. Tidak cukup dengan menyanyikan Indonesia Raya. Tidaklah cukup dengan memegahkan gedung-gedung pencakar langit ataupun meratakan gunung-gunung untuk mengambil emas.  Jika kekayaan negeri ini tak bisa dipertanggung jawabkan. Indonesia juga diramalkan menjadi sebuah Negara yang besar dan adidaya di masa akan datang. Seperti yang terungkap dalam Peta Atlantis menurut Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found terletak di Indonesia.
Kita mesti juga mengambil hikmah dari sebuah penerimaan masyarakat terhadap  bahasa. Antara bahasa Arab dan Inggris. Uraian sederhana adalah, kenapa kedua bahasa tersebut mengalahkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan internasional? Padahal jika kita membandingkan luasnya Negara-negara Arab bahkan digabungkan dengan Negara Inggris belumlah mengalahkan luasnya Negara Indonesia. Lalu apa yang berbeda?
Bangsa yang besar merupakan bangsa yang menghargai sejarah. Sejarah propaganda penjajah senantiasa akan menancapkan kukunya. Perhatian serius mesti menjadikan kita sadar bahwa “perang” terhadap penjajah akan selalu ada. Walaupun tidak secara fisik dan senjata. Tapi lebih apik sekarang, dengan ekonomi, budaya, pendidikan dan segala misi-misinya.
Kini, kerja keras kita harus difokuskan untuk mentransformasikan Indonesia menjadi sebuah entitas peradaban, sehingga Indonesia bisa menjadi sebuah arus kekuatan utama, yang serta merta diharapkan menjadi penata  dalam mengatasi segala permasalahan umat di dunia ini. Maka, bila semua doa kita panjatkan pada langit, sebutlah doa ini: “ Ya Tuhan, tidaklah ku minta rumah yang besar, istri cantik dan anak yang lucu. Tetapi, aku minta Negara dan penduduknya ini taat beragama.”

Komentar