soal 2

Merdeka, Wajib/Sunnah


“Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Tentunya, makna alinea pertama dalam Muqadimmah UUD 1945 ini merupakan intisari dari arah tujuan Negara Indonesia dibentuk. Dibentuk dalam rangka memahamkan bersama kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa kemerdekaan itu bukan perkara main-main atau soal instan dalam menggapainya. Kilas balik sejarah perjuangan kemerdekaan, kata “Merdeka” telah menjadi simbol gerakan. Simbol itu kemudian menjadi kata sakti untuk menggelorakan pekik kemerdekaan; bebas dari belenggu penjajah. MERDEKA ATAU MATI.
Nah, berkaitan dengan pemaknaan itu. Kita sebagai warga Negara yang hidup dalam zaman era digital perlu mengontemplasi ulang tentang makna hal di atas. Jangan-jangan kita telah tereduksi oleh mental nina bobo, sehingga selalu saja ada peluang penjajah untuk terus menanamkan taring mereka di tengah hiruk-pikuk umbul-umbul dan pesta kemerdekaan, yang kini tak terasa sudah 70 tahun lamanya. 70 tahun bukan usia yang relatif singkat. Jika kita korelasikan dengan usia manusia. Maka usia Negara kita sudah boleh dikatakan lebih dewasa dan sudah semestinya tak terkategorikan sebagai Negara berkembang. Atau lebih berproduktif. Perlu kita garis bawahi bahwa bukan periode usia yang akan menentukan nasib suatu bangsa, tapi tekad dan optimismelah yang menjadi kekuatan perubahan. Lihatlah Singapura yang usia negaranya relatif lebih muda daripada Indonesia, tapi berhasil menjadi Negara kuat abad ini. Sehingga, pemaknaan usia 70 tahun lebih pada geliat rakyat dan pemerintah dalam menggerakkan upaya bersama untuk menjadikan Indonesia menjadi bangsa Inspirasi untuk bangsa-bangsa di dunia. Kita tentunya tidak perlu risau tentang itu, sebab Founding father telah membuktikannya dalam fakta sejarah.

Olehnya itu, saya ingin menulis beberapa hal terkait dengan apa yang mesti kita lakukan sebagai bangsa besar, dalam upaya mempertahankan identitas dan episode agung yang telah disemai pendahulu. Kita, yang hidup zaman ini merupakan jembatan untuk mempertemukan kejayaan masa lampau dengan kekuatan zaman ini agar menjadi sebuah padu kepaduan kekuatan besar, yang dilahirkan untuk anak zaman esok hari. Pertama, Refleksi pada sejarah. Menurut  Moh. Hatta, “Sejarah bukan sekadar melahirkan ceritera dari kejadian masa lalu sebagai masalah. Sejarah tidak sekedar kejadian masa lampau, tetapi pemahaman masa lampau yang di dalamnya mengandung berbagai dinamika, mungkin berisi problematika pelajaran bagi manusia berikutnya”. Berkaca pada pemikiran beliau maka sejarah akan membuat manusia akan merasa jauh lebih baik. Lebih mengerti apa yang akan diperbuat. Sebab kenyataan hari ini adalah refleksi hari kemarin. Dan kenyataan hari esok adalah refleksi hari ini. Tentunya kenyataan esok hari pada bangsa ini ada di garis tangan kita. Kita punya “tangan besi” serta mempunyai hak untuk merubah. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah nasibnya sendiri. Sekiranya nafas-nafas H.O.S Cokroaminoto, Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Bung Tomo, R.A. Kartini, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari dan para ulama dan tokoh nasional lainnya bisa hadir pada era ini.

Saya kira upaya-upaya pengembalian nafas-nafas itu perlahan telah terbangun secara alami di tengah kondisi bangsa yang morat-marit seperti yang digambarkan dalam fiksi Negeri di Ujung Tanduk oleh Tere Liye. Nafas itu sangat terlihat jelas pada saat wajah bangsa ini telah bisa menunjukan sikap soliditas, seperti yang terpublikasikan oleh media kepada kita tentang duduk bersamanya Muhammadiyah dan NU dalam sebuah dialog di salah satu stasiun TV Nasional,  tentang visi membangun bangsa, sebelum kedua ormas besar di republik  ini mengelar muktamar. Gelora kedua ormas terbesar ini sangatlah boleh jadi menjadi kisah permulaan. Sebab saya yakin bahwa kisah akhirnya akan bermuara dimana dan apa bentuk wajah Indonesia masa depan. Tapi setidaknya harapan-harapan seperti itu teruslah kita yakini bahwa pergiliran zaman itu sunnatullah. Dan akan tiba saat, kita menjadi kunci pembuka. Sebelum hal ini terjadi, patut kita bertanya tentang diri kita, siapkah kita menerima amanah besar itu? Sebab, segala hingar-bingar tentang kegaduhan di negeri penuh ramah ini telah mengalami high problem. Lihatlah kasus kegaduhan politik, Asusila dan bunuh-membunuh, saling mengkambinghitamkan, lemahnya ekonomi dan anjloknya rupiah, BBM yang tak pasti harga. Itu beberapa sekelumit masalah yang membutuhkan asa optimis dan mengharuskan kita tidak boleh tidur nyenyak sebelum kita membuat senyum bangsa ini. Sebab bangsa ini telah diujung tanduk. Salah satu pengamat ekonomi  Monica Wihardja dari Universitas Indonesia mengatakan perlambatan ekonomi Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan dan pemerintah harus berhati-hati terhadapnya (sumber: http://www.voaindonesia.com/content/pengamat-perlambatan-ekonomi-indonesia-sangat-mengkhawatirkan/2761785.html)

Kedua, besar peluang kejayaan suatu bangsa sangat ditentukan oleh faktor luas wilayah, kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan berdaulat. Walaupun ada yang mengatakan bahwa faktor luas wilayah tak terlalu menentukan. Jika kita melihat luas wilayah Indonesia yakni 5.193.250 km², dengan memiliki luas wilayah ini, Indonesia merupakan salah satu Negara terluas di dunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil dan Australia. Namun, sebagai Negara kepulauan, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan terluas didunia. Sementara konteks “berdaulat”, keberadaan Indonesia sebagai Negara berdaulat telah diakui oleh seluruh Negara-negara di dunia. Hal ini ditujukan dengan diakuinya Indonesia sebagai anggota PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) ke-60 tahun 1950 dan keterlibatan di OKI (Organisasi Kerjasama Islam), G-20 (Kelompok 20 ekonomi utama) KAA (Konferensi Asia-Afrika) dll. Segi Human Development Index (HDI) Indonesia berada di posisi ke-108 dari 187 negara (sumber: http://news.detik.com).  HDI Indonesia masih di bawah Singapura.  Walaupun berkategori sedang tapi menjadi sebuah PR besar bagi bangsa. Padahal, posisi geografis Indonesia sejak dahulu telah menjadi “hitung-hitung” untuk masa depan bangsa ini. Kelak diharapkan menjadi sandaran rakyat dan dunia. Olehnya itu, sesungguhnya keadaan yang berbalik ini membutuhkan jurus strategis dari pemerintah sebagai pengemban amanah dan pengambil kebijakan. Bukan malah larut dalam masalah dendam.

Ketiga, cinta Bahasa. Ada sebuah pertanyaan kunci yang dapat menghentakkan alam sadar kita. Kenapa Bahasa Inggris dan Bahasa Arab bisa menjadi Bahasa Internasional? Bukan Bahasa Indonesia. Padahal, sekiranya seluruh Negara-negara Arab atau Inggris digabungkan luas wilayahnya, maka tak akan bisa menandingi luasnya wilayah Indonesia. ini soal pola pikir. Guruku pernah berkata,” ini soal equality of mindset. Bagaimana kita punya pemahaman yang sama tentang peradaban. Dan itu telah dibuktikan oleh bangsa Inggris dan Arab. Padahal selain luasnya wilayah. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat kaya kosakatanya di dunia. Ada 746 Bahasa Daerah juga ditambah dengan serapan bahasa asing yang kosakatanya dikamuskan dalam kamus Bahasa Indonesia. Kekayaan tersebut harusnya menjadi keunikan tersendiri dan menjadikan kita cinta bahasa. Itulah sebenarnya hakikat “ Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia,” dalam Sumpah Pemuda tahun 1908. Apalagi jika kita fahami bahwa bahasa merupakan refleksi kepribadian. Sebagaimana juga menurut cerita, jika kita pergi ke Jepang, kita (baca: turis) harus mempergunakan bahasa Jepang. Apakah Indonesia bisa seperti itu?

Keempat, kekuatan komunikasi. Sejak dulu hal ini telah dipelihara dengan baik lewat peran 
yang dimainkan oleh tokoh daerah, tokoh  militer,  tokoh pelajar, dan tokoh nasional. Semua
 memainkan pola tersebut dengan baik. Sehingga terwujudlah Republik ini. Lihatlah  Indonesia
 lewat Presiden kala itu  di tengah dinamika politik yang begitu dahsyat, Sukarno mampu
 menjadikan Indonesia sebagai “saudara tua” bagi Negara-negara Asia-Afrika. Berhasil
 menyakinkan dunia. Tentunya, meskipun beda zaman. Tapi energi itu masih bisa dirasakan.
 Akhir-akhir ini kekuatan itu mulai kendur. Transisi kepercayaan terhadap pemimpin, rakyat
 yang mudah dinakalin. Sehingga, bangsa yang kelihatan ramah menjadi marah. Adapun 
bangsa kita beberapa hari lalu dikejutkan dengan informasi dari ujung Indonesia Timur, 
tanah Papua, Merakue di wilayah Sota arah timur, atau di Kampung Rawa Biru, Dusun Yakyu 
tentang peristiwa memilukan adanya “larangan pengibaran bendera merah putih”. Masih dari 
tanah Papua, sebaliknya ada bendera asing yang dikibarkan di Tolikara. Ini sepenggal contoh 
dari sebuah kenyataan “the power of communication” yang sedang disalahgunakan. 
Sehingga pada akhir kesimpulan, saya ingin mengatakan keberhasilan sebuah bangsa dalam upaya mempertahankan, mengembangkannya bukanlah hal yang harus dilakukan oleh segelintir orang. Negara ini milik kita. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kita semua perlu me-restart ulang perencanaan hingga bentuk evaluasi. Evaluasi yang dimaksud adalah seberapa besar niat kita untuk menjadikan bangsa ini sebagai kiblat bangsa-bangsa di dunia. Kalaupun kita sekedar mendefinisikan ini hanyalah sebuah hal yang lumrah, maka tunggulah kita dihancurkan oleh penjajah global. Yang lebih ekstrim daripada penjajah dulu.  “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena meawan bangsamu sendiri” (Sukarno) sebaliknya jika kita mendefinisikan sebagai sebuah kewajiban dan keterpanggilan kita maka itulah adalah upaya yang sangat baik  untuk menata kembali Indonesia  dari jurang keterpurukan menuju optimisme kejayaan peradaban. Pasal 30 ayat 1 UUD 1945 : “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”


Komentar