Setiap
kita tentu memiliki prespektif berbeda. Begitu dengan saya. Kali ini, saya
lebih cenderung untuk membahas dua kata. Dua kata yang mempunyai hubungan
emosional yang begitu mendalam. Ya. Maluku dan Indonesia. Nukilan saya ini
adalah sebuah prespektif tentang harapan besar sebagai anak bangsa, yang begitu
prihatin atas keadaan sejarah yang telah ditinggalkan oleh generasi. Hanya
ingin mencoba membuka tabir dan bisa menjelaskan.
Telah
kita ketahui bersama. Sebagai sebuah negara yang berada di timur
dunia, Indonesia memiliki kekayaan yang sangat melimpah. Kekayaan yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia ini sangat menggiurkan bangsa lain. Terutama kekayaan melimpah dari hasil bumi Indonesia yang berupa
rempah-rempah yang sangat populer dan sangat diperlukan oleh bangsa Eropa dalam
kehidupannya sehari-hari. Salah satunya
Maluku, yang dijadikan sebagai incaran.
Maluku
merupakan salah satu provinsi di Indonesia. Daya magnet rempah-rempahnya
sangatlah menggiurkan kaum imperialis. Disamping itu juga ada faktor lain seperti:
dikuasainya rute dan
pusat-pusat perdagangan di Timur Tengah oleh orang-orang Islam, adanya kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan ditemukan peta dan
kompas yang sangat penting bagi pelayaran, adanya jiwa petualangan sehingga
menggugah semangat untuk melakukan penjelajahan samudra. Sehingga,
walaupun luasnya samudra dan jauh jaraknya Eropa ke Maluku, bangsa-bangsa Eropa
tersebut; Portugis, Spanyol dll terus melakukan upaya-upaya. Alhasil, mereka
berhasil masuk ke Maluku. Sejarah mencatat tahun 1511 di bawah pimpinan d'Albuquerque, Portugis berhasil
menguasai Malaka. Dari Malaka di bawah pimpinan d'Abreu, tahun 1512
Portugis pun sampai di Maluku
dan diterima baik oleh Sultan Ternate yang pada waktu itu sedang bermusuhan
dengan Tidore. Portugis berhasil mendirikan benteng dan mendapatkan hak
monopoli perdagangan rempah-rempah.
Namun,
kita tau bersama bahwa otak penjajah tetaplah penjajah. Tidak ada yang baik.
Visi mereka gold, gospel dan glory tercium bauk busuknya oleh rakyat
Maluku. Maluku bangkit dan sedia mengusir mereka. Maka lahirlah Sultan
Baabullah, Sultan Khairun, Said Perintah, Pattimura tahun 1817 dan pejuang lainnya. Upaya-upaya licik
penjajah dalam mengadu domba, dan redalah perlawanan itu. Tapi, darah pejuang
tetaplah mengalir di dada para generasinya, yang senantiasa menjadi aliran
mematikan bagi penjajah. “Cakalele pake parang deng salawaku. Katong
kajahang biji ruku. Karna beta Maluku.
Anak alifuru nyali pangkuku”.
Kisah
historis kedua “kandung” ini; Maluku dan Indonesia berlanjut pada rentetan sejarah
pembentukan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai salah
satu daerah yang menjadi “founding” NKRI, Maluku telah
menempatkan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan bersama 7 daerah lain;
Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Celebes, dan Sunda
Kecil, yang mengaku kedaulatan NKRI pada saat itu. Sehingga kita akan merasa
takjub akan HUT (Hari Ulang Tahun) keduanya hanya berselang dua hari. Maluku
yakni 19 Agustus dan Indonesia yakni 17 Agustus. Pada tahun yang sama, yakni
1945. Kini Maluku, setelah pisah ranjang dengan Maluku Utara tahun 1999. Juga tragedi
krisis kemanusiaan dan konflik horizontal yang melanda Maluku pada episode 1999
hingga tahun 2000-an juga tak lepas dari krisis moneter yang melanda Indonesia
saat itu. Maluku terus berbenah. Jika kita bicara, Maluku dari masa ke masa,
maka kita akan menemukan makna yang lebih mendalam.
Hari
ini, Maluku di bawah kepemimpinan Said Assegaf dan Zeth Sahuburua yang dilantik oleh Mendagri tanggal 10 Maret 2014
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 13/P tahun 2014 tertanggal 26
Februari 2014. Sebagai Gubernur Maluku dan Wakil Gubenur Maluku Periode
2014-2019, pasangan dengan akronim SETIA ini, mempunyai sejumlah PR besar untuk
mengembangkan Maluku ke arah yang lebih baik. Berbagai problem, seperti P10
Blok Masela, Lumbung Ikan Nasional, Perlakuan Daerah Khusus, Undang-undang
kemaritiman, juga dinamika politik haruslah diperhatikan oleh pemangku
kebijakan. Olehnya itu, pusat dan daerah
harus bisa menjaga hubungan sejarah itu, sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari “sepenanggung”. Intensifikasi komunikasi merupakan hal terpenting yang
dijaga. Bukan seperti janji dagang sapi. Apalagi kita tau bahwa luasnya Maluku
705.645 km2,
terdiri dari lautan 658.294,69 km2 dan 47.350,42 km2 daratan. Artinya wilayah lautan lebih
besar daripada daratan. Dengan jumlah
penduduk ± 1,5 juta jiwa (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Maluku)
maka
semua itu akan berkorelasi dengan soal kesejahteraan. Sebab UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan
Sosial telah menjelaskan itu serta UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN), yang dirancang untuk memberikan landasan mewujudkan
amanat UUD 1945.
Sebagai
ikon sejarah masa lampau dalam pembentukan NKRI, ikon perdamaian dunia serta
pula kearifan budaya serta eksotiknya panorama pariwisata. Itu semua akan
menjadi nilai jual yang bisa mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat jika
dikelola dengan baik. Sehingga diharapkan masyarakat 11 kabupaten/kota yang
mendiami segala gugus pulau di Maluku dapat merasakan nikmatnya kesejahteraan
yang merata.
Penulis: M. Nasir Pariusamahu, Ketua KAMMI Kota Ambon
Komentar
Posting Komentar