Oleh M. Nasir Pariusamahu
(Ketua KAMMI Ambon; Pemerhati Hak Asasi Manusia)
|
"Aku Juga Manusia" |
Rohingya.
Beberapa diantara kita tentunya hanya diam dan bingung ketika mendengar kata
tersebut. Walaupun dunia sedang dilanda kecanduaan media, seperti facebook, Youtube, twitter, Koran dan TV,
dan media-media sreaming lainnya,
namun itu tidak cukup untuk mengetahuinya. Tetaplah samar. Kiranya saya bukan
termasuk bagian dari mereka (bagian dari suku Rohingya). Saya juga bukan peraih
nobel perdamaian dan HAM yang nantinya akan beretorika dan akhirnya mendapat
gelar peraih nobel perdamaian. Saya juga bukan keturunan dari salah satu
mereka. Apalagi pernah bertatap langsung. Dan saling memberi senyum hello-hai. Bahkan nama dan identitas
saya pun berbeda dengan mereka. Tapi, ini bicara soal naluri. Tentang sesama
hamba Tuhan, yang senantiasa menjadikan hidup ini bermanfaat untuk orang lain.
Ya. I am Indonesia. Beta Maluku. Itulah identitasku. Semoga pesan ini bisa
merangkul asa yang terpendam dan bisa menguak hati yang keras membatu. Walaupun
saya sadar, mungkin frase-frase yang kuciptakan ini tidak sesuai dengan
Ejaan.
Berkenan
dengan sebagian orang yang tengah mungkin tutup mata, saya sengaja membuka
cerita ini pada kalian. Bahwa rasaku mungkin tak sama dengan kalian (warga
dunia) tapi kita lahir sekiranya dari rahim yang satu yakni Adam dan Hawa. Dan
tak ada agama yang memungkiri hal tersebut. Nah, dari beberapa sumber, saya
akan menjelaskan bahwa “Rohingya” adalah istilah yang dipakai untuk menyatakan
bahasa yang digunakan
orang-orang yang tinggal di daerah Arakan (Rakhine/Rohang), Myanmar. Sebagian sumber
menyatakan bahwa penduduk Rohingya adalah penduduk asli Myanmar, sedangkan
sebagian lain meyakini penduduk Rohingya adalah imigran Muslim yang berasal dari
Bengal dan tinggal di Arakan saat masa penjajahan Inggris (http://fuki.cs.ui.ac.id/?p=1894)
Selanjutnya
masih dalam situs yang sama (http://fuki.cs.ui.ac.id/?p=1894) dijelaskan bahwa eksistensi
penduduk muslim Rohingya di Arakan sebenarnya sudah dimulai sejak abad
kedelapan melalui proses perdagangan yang melibatkan kerjasama dengan penduduk
Arab – menyebabkan keturunan Arab menjadi pelopor komunitas muslim di Myanmar.
Sejarah mencatat bahwa perkembangan pesat penduduk muslim Rohingya terjadi pada
rentang tahun 1891 (total 58.225 orang) hingga tahun 1911 (menjadi total
178.647 orang, hampir 3 kali lipat. Peningkatan penduduk tersebut mencapai
puncaknya pada tahun 1927, saat total penduduk muslim Rohingya mencapai sekitar
480.000 orang. Sejak Myanmar merdeka tahun 1948, komunitas Rohingya telah
diakui oleh Negara yang mayoritas Budha itu. Namun, tidak berlangsung lama,
tahun 1982 ketika Militer , yang sangat bergantung pada kaum Budha, memunculkan
suatu peraturan pemerintah yang mendiskriminasi dan mendiskreditkan penduduk
Rohingya. Mereka dicap sebagai “penduduk asing” dan kehilangan kewarganegaraan
mereka.
Sejak
itulah kaum Rohingya yang beragama Islam ini, diliputi kecemasan dan penindasan
oleh pemerintah Myanmar. Dan sudah banyak diantara mereka yang telah kehilangan
sanak saudara, rumah dan harta serta terusir dari tanah air mereka. Misalnya,di
tahun 2012 saja Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa ada 80 orang terbunuh, dan lebih dari 4600
rumah terbakar. Hal ini mengakibatkan jumlah penduduk yang terpaksa harus
meninggalkan rumah mereka pun mencapai 100.000 penduduk. Itu belum lagi
masa-masa kritis yang dialami sejak junta militer berkuasa dan hingga kini.
Ataupun kita baru beberapa hari kemarin, mungkin saja terkagum atau haru melihat kisah “manusia kapal” yang
tak bukan adalah suku Rohingya. Yang bermalam-malaman di atas gelombang.
Menyeberangi samudra. Membelah laut dalam pekat malam, ataupun di siang hari
tanpa bekal sehingga mereka pun terlihat kurus kering, dan bahkan ada yang
meninggal, akibat terlunta-lunta di atas kapal. Sementara itu, Negara-negara
ASEAN (sahabat Myanmar) termasuk Indonesia hanya berpangku tangan. Mungkinkah
itu terjadi pada diri kalian, keluarga kalian. Tentu lain ceritanya.
Sejak pekan
lalu sudah ada 1.346 pengungsi Rohingya yang merapat ke daratan Indonesia, di
Aceh. Namun miris, apa pernyataan Menlu RI, Retno, ketika ditanya tentang
kebijakan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya yang masih terapung-apung di
laut, dia mengungkapan
distress of sea. Artinya, Indonesia hanya
memberikan bantuan kemanusiaan apabila mereka dalam kondisi bahaya
(http://www.republika.co.id) Dahsyat!!! Padahal sebagai negara
yang secara historis-geografis berada dekat dengan Myanmar. Ataupun sebagai
pengingat kita, bahwa Negara Indonesia telah jelas memperjuangkan hak-hak
manusia atas penindasan, penjajahan, lihatlah, dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan pada alinea pertama Pembukaan, “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. Lantas lupakah pemerintah Indonesia? Ini
bukan soal menjaga kedaulatan seperti disinggung oleh Panglima TNI, Moeldoko
(http://nasional.kompas.com) tapi ini soal kemanusiaan.
Sekali lagi kemanusiaan dan perilaku HAM terberat. Pemerintah Indonesia sama
halnya dengan
PBB yang terkesan cuci
tangan. Lupakah tentang Deklarasi HAM pada 1948 no. 29 (yang sering tidak
diketahui oleh masyarakat) bahwa: “
Setiap orang mempunyai kewajiban
terhadap masyarakatnya dan bahwa dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaannya
setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan dalam rangka
memenuhi persyaratan-persyaratan yang adil dalam hal moralitas, kesusilaan,
ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis”.
Sungguh telah jelas, pemerintah Myanmar
telah melanggar hal-hal tersebut. Dimana semboyan ASEAN, “satu misi, satu
identitas, satu komunitas”. Oh ternyata semua telah lupa. Tak lagi
tersayat-sayat dan merasa satu keluarga. Maka sebagai warga ASEAN juga warga
dunia, Indonesia harus dapat memainkan peranannya sebagai Negara terbesar bukan
malah saling melempar batu. Lihatlah, Turki (bukan Negara ASEAN) tapi telah
bisa menyumbangkan hal yang lebih besar daripada Negara-negara kawasan ASEAN
termasuk Indonesia. Turki telah berhasil menjadi saudara bagi semua warga dunia.
Turki telah berhasil menjadi pengayom atas sesiapa warga dunia yang tertindas.
Lalu Indonesia? Yang katanya getol terhadap HAM dan perdamaian? Kemanakah
saudara-saudara se- kawasan ASEAN? Kemanakah PBB? Kemanakah pejuang-pejuang HAM
sesungguhnya? Apakah mereka semua menunggu nanti ada lomba Nobel baru mereka
akan siap berada di garda depan? Sekali
lagi, ini bukan soal Etnis, Suku ataupun Agama. Ini soal Identitas kemanusiaan.
Ini soal kerapuhan nilai-nilai humanistik. Ini soal manusia agar
memanusiakan manusia. Maka kasus ini perlu untuk segera diselesaikan, karena
yang saudara-saudara kita di Rohingya butuhkan saat ini bukan hanya berupa
makanan maupun obat-obatan, melainkan pula kepastian mengenai status mereka di
hadapan hukum, bahkan kepastian untuk bisa hidup, selayaknya manusia. Agar
dunia ini aman sentosa.
Komentar
Posting Komentar