|
Add caption |
Oleh M. Nasir Pariusamahu,
Ketua KAMMI Daerah Kota Ambon
Hasil karya merupakan sebuah hasil dari bentuk
pengabdian. Bentuk pengabdian itu ada yang nyata maupun tidak nyata. Tapi
seberapa besar bentuk pengabdian itu, akan terasa bilamana dirasakan langsung
oleh lingkungan sekitar. Bahasa sederhananya adalah “sebaik-baik manusia,
adalah manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Dalam momen HUT Kota Ambon yang telah memasuki
usia yang keempat ratus tiga puluh sembilan semestinya jangan hanya diartikan
sebatas momen seremonial saja. Namun, kita lebih pada hal subtansialnya,
yakni selalu memberikan pertanyaan, dalam usia yang sudah empat abad lebih ini,
sudahkah masyarakat semua merasakan kesegaran untuk hidup di kota ini? sejarah
itu dinamis dan terus merubah arah pemikiran para manusia. Kenyataan hari ini
adalah refleksi pikir sejarah masa lalu, dan kenyataan hari esok adalah
kumpulan pikir hari ini. Barang siapa yang lupa sejarah maka akan lupa dirinya.
Jadi semakin bertambahnya usia semestinya diikuti dengan perkembangan yang
pesat.
Kiranya kita tak boleh lupa dengan sejarah
panjang ini. Tentunya kita masih
mengingat memory tentang episode panjang itu, dari semula yang bentuknya kelompok-kelompok masyarakat kemudian berkembang menjadi masyarakat
Ginekologis territorial yang teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai tahun lahirnya Kota Ambon.
Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama
dengan Pemerintah Colonial, sebagai manifestasi hasil perjuangan Rakyat
Indonesia asal Maluku. Momentum ini merupakan salah satu momentum kekalahan
politis dari bangsa penjajah dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon
memainkan peranannya di dalam pemerintahan seirama dengan politik penjajah pada
masa itu, serta menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam menentukan masa
depannya. Karena itu, tanggal 7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran
Kota Ambon.. Tentunya kita telah melewati setiap jejak sejarah itu, tapi sebagai
pecinta kota ini kita sepatutnya memberi sikap positif karena tidak dipungkiri
bahwa ada jua duri-duri yang selalu ada
pada jalan licinnya.
Ambon??? dalam
catatan empat abad…
Tulisan ini sengaja saya tulis sebagai bentuk
penghargaan terhadap kota tercinta ini, Ambon. Silahkan tulisan ini dinilai
secara objektif. Dan tersebutlah bahwa tulisan ini merupakan sebuah pengharapan
konstruktif dari sebuah dinamika yang mewarnai pelangi di kota yang menjadi
capital city of Maluku. Secara
umum kita telah mengetahui Hari lahir atau hari jadi Kota Ambon yang telah
diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar di Kota
Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur ratusan tahun
itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil
inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir
Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan Kolonel
Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9). Seminar berlangsung dari
tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 itu akhirnya menetapkan hari lahir kota
Ambon pada tanggal 7 September 1575. Bahwa tahun 1575 diambil sebagai patokan
pendirian kota Ambon ialah berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dianalisa dimana
sekitar tahun tersebut sudah dimulai pembangunan benteng “Kota Laha” didataran
Honipopu dengan mengerahkan penduduk di sekitarnya oleh penguasa Portugis
seperti penduduk negeri / desa Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative,
Seilale, Urimessing, Batu Merah dll. Benteng Portugis yang dibangun diberi nama
“Nossa Senhora de Anuneiada”. Dalam perkembangannya kelompok pekerja benteng
mendirikan perkampungan yang disebut “Soa” Kelompok masyarakat inilah yang
menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Citade Amboina) karena di
dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat
geneologis teritorial yang teratur. Selanjutnya tentang penetapan tanggal 07
September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah bahwa pada tanggal 07 September
1921 , masyarakat kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial
Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku di
bahwa pimpinan Alexander Yacob Patty untuk menentukan jalannya Pemerintahan
Kota melalui wakil-wakil dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan
Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524).
Ditinjau dari segi politik nasional, momentum ini merupakan saat penentuan dari
Pemerintahan Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat Indonesia di Kota
Ambon yang sekaligus merupakan suatu momentum kekalahan politis dari bangsa
penjajah. Ditinjau dari segi yuridis formal, tanggal 07 September merupakan
hari mulainya kota memainkan peranannya di dalam pemerintahan seirama dengan
politik penjajah dewasa itu. Momentum inilah yang menjadi wadah bagi rakyat
Kota Ambon di dalam menentukan masa depan. Dilain pihak, kota Ambon sebagai
daerah Otonom dewasa ini tidak dapat dilepaspisahkan daripada langka momentum
sejarah.
Setelah Seminar Sejarah Kota Ambon yang
berlansung tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 berhasil menetapkan tanggal 7
September 1575 sebagai Hari lahir Kota Ambon, maka untuk pertama kalinya pada
tanggal 7 September 1973 Hari lahir Kota Ambon diperingati hingga saat ini. Sebagai
pusat kota di Maluku, Ambon telah mengalami pasang surut dalam memajukan
kotanya. Jika dilihat dari usia, Ambon lebih dulu ada daripada keberadaan
Negara Amerika Serikat, ataupun Singapura. Tapi coba tengok, tentang
perkembangan Ambon jika dibandingkan dengan negara-negara tersebut. Kita tidak
bicara tentang skala negara atau provinsi. Tapi yang kita bicarakan adalah
tentang skala karya dan peradaban. lalu masihkah ada harapan? Ternyata
perbedaannya semua bukan berada pada dan tidak tergantung pada usia. Contohnya
mesir yang usianya lebih dari 2000 tahun tapi masih tertinggal dibandingkan
dengan Singapura yang kini rakyatnya sejahtera dan tidak miskin. Atau dilihat
dari sumber daya alamnya, juga bukan jawabannya, sebab Jepang yang sangat
terbatas daratannya, 80% adalah pegunungan tapi kini menjelma sebagai Negara Industry
terapung dan raksasa ekonomi kedua di dunia atau dalam skala keamanan, maka Swiss
jawabannya, bank-bank di negara itu menjadi rujukan dan sangat dipercayai
dunia. Jadi tidak ada hubungan siginifikan bahwa usia satu negara mempengaruhi
kemajuan. Namun, hal itu dapat terjadi pada negara-negara maju karena sikap dan
perilaku masyarakatnya telah dibentuk sepenjang tahun melalui pendididkan dan
kebudayaan. Masyarakatnya sangat patuh terhadap prisnsip hidup yakni,
keyakinan, etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada
aturan hukum dan hukum masyarakat, cinta pada pekerjaan, menghormati hak orang
lain, investasi, hargai waktu, kerja keras. Apakah Ambon sudah benar-benar
melaksanakan hal-hal tersebut?
Sementara itu dilain sisi era globalisasi telah memberikan kita bahasa
pengakuan. Apa itu??? Bahasa tentang “apakah anda mau tergilas oleh zaman???”.
Olehnya itu, tidak ada saatnya lagi untuk tidak membaca hal-hal yang kecil dan
tak berguna. Saatnya berbicara yang besar-besar, niscaya yang kecil pun akan
dengan sendirinya teruraikan. Bukankah kelemahan kita saat ini adalah selalu
berbicara kecil-kecil sehingga perkara besar yang menjadi prioritas menjadi kepingan
atau file tentang program kerja yang mati.
Pada pengertian lain telah diuraikan bahwa Ambon merupakan kota heterogen yang mempunyai aneka
karakter masyarakat. Nah, “Ambonku, Ambon Kita”, tema yang diusung pada HUT tahun
ini. memberikan kita
peluang untuk berbicara satu meja dan mengetuk palu bersama untuk kepentingan
bersama. Bukankah “…Tuhan telah menciptakan manusia bersuku-suku,
berbangsa-bangsa untuk saling kenal-mengenal???...” untuk itu proses
menjadikan rasa perbedaan itu menjadi wilayah kebhinekaan harus terpatri dalam
dada-dada sang pembuat jejaknya.
Betapa energi cita-cita telah lelah mengikuti perkembangan dinamika. Memang tidak mudah ialah menyatukan cita-cita
dan tekad itu bersama guna membangun kota lantaran adanya perbedaan pandangan
tersebut. Usia yang begitu dahsyat ini, seharusnya diikuti dengan perkembangan
yang pesat. Silih berganti kepemimpinan di kota ini belumlah secara total
melakukan perubahan. Oleh karena itu, bukan dituntut kreatif mencari terobosan-terobosan baru
melainkan juga menyusun strategi, agar pikiran baru tersebut dapat diterima
oleh seluruh kelompok yang ada itu. Pekerjaan menyatukan itu kadang jauh lebih
rumit daripada mencari sumber-sumber pendanaan yang diperlukan. Hal tersebut
menjadikan kita hidup di dunia yang tidak jauh berbeda dengan hutan belantara.
Dimana bahasa global kita adalah kekuatan besi dan baja, bahasa bisnis kita
adalah persaingan, bahasa politik kita adalah penipuan, bahasa sosial kita adalah
pembunuhan, dan bahasa jiwa kita adalah kesepian dan keterasingan. Seperti
analogi ini kita adalah masyarakat sipil yang berwatak militer, kita adalah
masyarakat berperadaban berwatak primitif,
kita adalah manusia sepi ditengah keramaian, dan kita adalah
manusia-manusia merana di tengah
ketimpangan.
Sebagai pengambil kebijakan pemerintah kota dalam hal ini haruslah dapat
menjawab hal tersebut. Selain, mengikutkan partisipatif masyarakat. Bahasa
sederhananya adalah jangan terpesona data statistik. Lagi-lagi pihak pengambil
kebijakanlah yang paling besar mempengaruhi kemajuan. Nah, lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah kota
Ambon untuk menjawab hal tersebut? Berikut beberapa
hal yang menurut saya patut untuk dilakukan oleh pihak pengambil kebijakan dalam masa
kepemimpinan yang tersisa dua tahun:
1. Menciptakan sistem birokrasi yang sehat dan terukur.
Hingga capaian-capain visi misi dapat berjalan secara maksimal. Perhatian dalam
birokrasi ini soal penempatan jabatan dalam ruang lingkup birokrasi harus
sesuai dengan kapasitas bukan soal asal penempatan dan kejar karier. Apalagi
dengan adanya sistem pelayanan satu atap yang direncanakan tahun depan,
sangatlah menguras tenaga. Sehingga bahasa pelayanan benar-benar dirasakan oleh
publik. Juga pengevaluasian secara baik terhadap kebijakan yang diturunkan.
Sebab, boleh jadi ada ketidaksampaian antara visi dan realisasi. Dan ini bisa
terjadi dalam pemerintahan.
2. Pengawalan dan kejelasan atas kebijakan-kebijakan yang
telah menjadi komitmen dalam visi-misi. Seperti: a. Pembangunan hotel mewah di atas tanah Victoria
Park yang tidak ada kejelasannya hingga sekarang, sehingga lahannya sekarang
terlihat kumuh dan tidak terurus, padahal lahan tersebut dapat dialihfungsikan
untuk taman kota/ taman rekreasi yang kiranya sangat strategis. b. kemacetan
yang menjadi bumerang. Jika kita lihat, titik merah macet dari Batu Merah hingga
Pasar Mardika sudah tidaklah dapat dibendung, beberapa tahun lalu, walikota
pernah menyampaikan bahwa indikator majunya suatu daerah adalah kemacetan. Nah,
kemanakah ide sang kepala daerah tersebut? Apakah bahasa beliau kurang
dimengerti sang rakyat atau? Olehnya itu, saya kira perlu ada pengalihan jalur
mobil yang melintasi daerah tersebut. Coba kita simak saja, daerah Mardika-Batumerah
dengan kapasitas jalan yang sempit namun terjadi 2 arus berlawanan arah.
Apalagi kebijakan Pasar Apung yang tidak maksimal. Sehingga PKL pun masih
terlihat memadati jalan-jalan. Sehingga kemacetan pun bertambah akut. Atau
perlunya jembatan layang dalam kota? Lalu siapa yang bertanggungjawab? c. Baru-baru
ini Ambon dua kali mendapat penghargaan Adipura oleh Presiden RI, hal ini perlu
diapresiasi oleh kita semua. Namun, bukan hanya aspek fisik saja, saya kira
aspek kebersihan “jiwa” pun diperbaharui. Aspek jiwa berkaitan dengan soal
religiusitas. Kita bisa menyimak sendiri keberadaan lokalisasi “Tanjung
Batumerah” yang kiranya terbesar di kota ini. Koran spektrum Maluku edisi
minggu pertama September 2014, menguraikan bahwa “Lokalisasi Batu Merah
Kedatangan 11 PSK baru". Hal itu disampaikan langsung oleh Wa Ode Muna, Kadis
Dinas Sosial Kota Ambon. Pertanyaannya adalah darimana asal PSK-PSK tersebut?
Dolly? Padahal kasus HIV/AIDS bukan masalah baru di kota ini. Data khusus
kota Ambon tercatat dari Januari 1994 hingga 31 Maret 2014 jumlah kasus
HIV/AIDS telah mencapai 1.345 kasus, sebagian besar dari penderita HIV/AIDS
telah meninggal dunia
(http://www.radiodms.com/index.php/informasi/2999-2014-ditemukan-30-kasus-baru-hivaids-di-kota-ambon).
Dan kita tau darimana juga sumbernya? Setidaknya dengan adanya Perwali Kota
Ambon No. 26 Tahun 2011 bisa menjawabnya. Apakah kasus Dolly di Surabaya
terulang di Kota Ambon? d. Soal Perpakiran, Pajak Bumi dan Bangunan, dll
3. Empat solusi untuk memajukan Kota Ambon: Ambon Kota
Perdanganan, Ambon Kota Pariwisata, Ambon Kota Ekonomi, Ambon Kota Pendidikan dan
beberapa kebijakan, Ambon Siang Bersih dan Terang Malam Hari, Ambon Kota
Tertib, Ambon Kota Berkualitas dan Perairan, Ambon Kota Partisipasi. Hal-hal ini
setidaknya bukanlah menjadi judul visi saja, namun semestinya diefektifkan
dalam sisa pekerjaan 2 tahun masa kepemimpinan walikota saat ini. Memang 5
tahun adalah waktu yang sempit untuk memikirkan realisasi visi tersebut. Namun
setidaknya ada sebuah perencanaan yang matang sehingga masyarakat tidak merasa
suaranya tidak sia-sia. Contohnya, soal icon Ambon sebagai Kota Musik yang
telah direstui oleh pemerintah kota, berbeda dengan Ambon Kota Tertib yang
men-iconkan gong perdamaian.
4. Masalah krusial saat ini juga yang perlu diantisipatif
adalah kasus CPNS.
Ingatkah kita kenapa
Bahasa Inggris dan Bahasa Arab menjadi tersebar di seluruh dunia bahkan sampai
ke pelosok-pelosok? Padahal Negara Inggris luasnya hampir tidak jauah berbeda Ambon,
atau Negara Arab, yang jika semua Negara Arab digabungkan belum tentu bisa
menyamai Indonesia. Jawabannya adalah, karena kedua Negara ini sejak dulu
berpikir peradaban. Olehnya itu, layakkah Ambon menjadi bagian dari ASEAN Community
2015 dan Bonus Demografi yang dimulai 2020? Tak banyak yang tertuliskan dalam
tulisan ini. banyak sekali teori tentang membangun yang disampaikan para ahli
pikir. Saya hanya dapat menambah dan mempengaruhi. Sehingga Ambon yang maju,
mandiri, lestari, dan harmonis berbasis masyarakat dapat terealisasi. ’’Wako
(Waku) Par Ambon Yang Lebe Bae!’’.
Komentar
Posting Komentar